Apakah negara sebesar Indonesia begitu kejam hingga hanya mengakui 6 agama tersebut? Tampaknya tak ada kaitan antara kejam atau tidak kejam dalam hal ini.
Faktanya, para pendiri negara ini hanya menganut salah satu dari 6 agama di atas. Tak dari mereka yang mengaku Yahudi, Mormon, Ahmadiyah, dst. Maka wajar saja ketika 6 agama itu saja yang diakui (tadinya sih cuma 5 agama).
******
Ingat, kata yang digunakan negara adalah "mengakui", baukan membolehkan atau melarang. Artinya, keputusan yang diambil adalah keputusan politis oleh para politisi pendiri bangsa ini.
Mengapa Agama tak mengakui 50 agama, atau seluruh agama yang ada di dunia ini saja? Kalau itu terjadi, Anda bisa bayangkan berapa persen uang APBN hanya untuk Kementerian Agama.
Lha, hanya 5 agama saja, Kemenag sudah bertengger di urutan kedua yang dapat jatah APBN paling banyak. Biasanya sih malah urutan pertama.
Dan siapa yang paling besar mendapatkan kucuran dari pajak rakyat itu? Selain karena mayoritas, besar-kecilnya anggaran juga tergantung lobi-lobi di DPR.
Misalnya, di DPR orang beragama Katolik cuma 10 biji, eh 10 orang. Udah gitu, dari 10 tadi cuma 2 orang yang merasa harus memperjuangkan Katolik.
Sementara yang 8 orang lagi merasa tak dipilih umat Katolik, karena saat pemilu Uskupnya malah mendukung calon yang kalah. he he he.
Udah hanya 2 DPR, eh Dirjen Agama Katolik-nya (misalnya loh ya) tak paham lobi-lobi politik kecuali mengamankan jabatannya, maka besaran anggaran untuk Bimas Katolik bisa "dirampok" tuh sama agama lain.
*******
Contoh ini hanya ingin memperkuat fakta bahwa tokoh-tokoh agama tak boleh apatis terhadap politik. Tetapi juga serentak jangan sampai para pemimpin agama justru mengambil-alih jabatan politis hingga ia meninggalkan kewajibannya melayani umatnya.
Fakta bahwa pengkuan atas 6 agama sebagai keputusan politik bisa dibaca dalam dua sudut pandang. Pertama, agama telah turut ambil bagian dalam mendirikan negara ini. Kedua, negara mutlak membutuhkan agama, sejauh rakyatnya masih beragama.
Sebagai perbandingan Anda tahu bahwa di Cina ratusan juta umat Katolik juga umat agama lain justru tak diakui eksistensinya sebagai warga negara hanya karena mereka beragama Katolik.
Gereja yang telah ratusan tahun sekalipun boleh dibongkar petugas Partai Komunis Cina seenak udel. Uskup dan pastornya dipenjara, bahkan tak sedikit dari mereka yang dibunuh.
Pendek kata, di Cina, Gereja Katolik (baca: umat Katolik) di Cina diperlakukan tak lebih daripada orang asing. Boro-boro mendapatkan hak atas ABPN RRT yang tidak mereka tuntut, umat Katolik di Cina malah hidup di dalam tekanan.
Mungkin ini seperti Ahmadiyah, gereja (agama) setan, Yahudi, Mormon, dan sekte-sekte Kristen lain yang dilarang yang adan dan eksis di Indonesia.
Mereka tetap berabadat di tempat ibadah mereka yang tersembunyi. Sebagian ada juga yang diketahui masyarakat hingga mereka mengalami persekusi sepihak dari warga sekitar, tetapai juga akan dilarang pemerintah bila ketahuan.
****
Maka, pertanyaan "Apakah agama boleh berpolitik?" Tidak. yang boleh berpolitik adalah umat beragama. Di Indonesia, yang boleh berpolitik itu bahkan hanya umat dari 6 agama yang diakui negara.
Mengapa agama tak boleh berpolitik? Ya, karena agama bukan lembaga politik. Kalau agama sebagai lembaga politik, maka Anda harus mendirikan negara khilafah atau seperti negara kecil Vatikan yang rakyatnya sebagaian besar tamu dari negara lain itu.
Selama Anda adalah warga negara Indonesia, Anda punya hak politik, mulai dari memilih pemimpin lewat pemilu, pileg, pilpres, dan pilkada hingga menyuarakan hak-hakmu yang ditindas aparat pemerintah.
Sekali lagi, tak ada larangan (termasuk dalam Gereja Katolik) bagi para pemimpin agama untuk berpolitik. Yang dilarang itu adalah berpolitik praktis, seperti Pastor ingin menjadi anggota DPR(D), Uskup ingin jadi Gubernur hingga presiden, atau pastor malah menjadi ketua tim kampanye politik untuk caleg tertentu.
Mengapa politik praktis dilarang? Jawabannya sederhana. Mereka adalah pejabat gereja. Artinya sudah punya jabatan di Gereja, entah sebagai uskup, pastor paroki, pastor rekan, dosen, ketua yayasan, dst.
Faktanya semua dari mereka sudah punya jabatan. Kalau orang sudah punya jabatan lalu ingin mencari jabatan lain itu namanya apa? Ya, kemaruk, serakah, atau rakus... sebuah tindakan yang jelas dilarang keras oleh kitab suci dan ajaran Gereja Katolik.
*****
Lantas, bagaimana mereka mengungkapkan hak politiknya? Sebagai seorang Katolik dengan iman sangat dangkal, saya selalu percaya bahwa para pastor, apalagi uskup itu adlaah para pendoa, hidup saleh dan punya kebijaksanaan. Minimal itu kategori yang harus mereka miliki sebelum ditahbiskan jadi imam.
Dalam kesalehan doa dan kebijaksanaan yang dimiliki mereka pasti akan mencari, menemukan, menyelidiki dengan saksama seorang awam Katolik yang cakap di bidang politik untuk menyuarakan "kepentingan gereja" di pemerintahan, terutama sebagai anggota legislatif.
Sebut saja, misalnya, para uskup itu tak ingin dipersulit pemerintah dalam perizinan pembangunan gereja, tokoh Katolik di pemerintahan tidak ditekan karirnya hanya karena ia Katolik, anggaran Bimas Katolik ditambah, dst. Semua ini adalah kepentingan politik, dan oleh karenanya harus diperjuangkan secara politis.
Tokoh Katolik ada banyak. Mungkin tak sempurna, bahkan ia bukan tokoh yang suka mengantar oleh-oleh ke pastoran, pun bukan umat yang rajin ikut Perayaan Ekaristi dan duduk di depan gereja. Ia bisa saja seorang Katolik yang biasa-biasa saja, tetapi ia adalah awam yang cakap menyuarakan kepentingan politik gereja.
Kalaupun tak ada yang awam Katolik yang terbaik, minimal para uskup dan para imam mencari dalam doa hingga setelahnya mendukung tokoh awam yang baik.
Minimal yang baik-baik itu kini sudah mencalonkan diri secara sah: Orangnya jelas, partainya jelas.. tinggal pendukungnya yang belum jelas. Doakanlah mereka supaya menang. Tapi tak usah ikutan kampanye, ya mgr/pastor... he he he.
Lusius Sinurat
Posting Komentar