Anda tahu, sebelum dipanggil maju ke depan dan berbicara, saya merasa minoritas. Tetapi saat meluncurkan kalimat pertama sebagai "guru" yang dan berdiri ditengah mereka, saya juatru merasa mayoritas.
Dalam kurun waktu tahun 2011-2013 Saya bersama trainers lain yang berama Islam pernah selama kurang lebih 2 tahun mendampingi puluhan hingga anak-anak muda yang 100% Islam di desa-desa di Grobogan Jawa Tengah, dan juga di Mojokerto Jawa Timur.
Sejujurnya, kasusnya sama seperti di atas. Sebelum berbicara dari depan, saya adalah merasa minoritas. Tapi setelah mempresentasikan materi yang memang kuasai, saya langsung pede dan merasa jadi mayoritas, karena jadi pusat perhatian.
Hanya saja, dua tahun belakang saya sering diminta bicara dihadapan guru-guru agama dan kelompok-kelompok parokial, perasaannya justru berbeda. Sejak datang dan selesai bicara, saya justru merasa minoritas.
Di dalam pikiran saya, mereka (para peserta) itu pasti lebih Katolik dari saya, apalagi saat saya tahu mereka adalah guru-guru agama yang mengabdi ke gereja tapi dibayar negara.
****
Tahun 2015 silam, saat Maulid nabi, sebagai ketua tim salah satu bacabup Simalungun, kami diundang ke rumah salah satu tokoh agama dan pejabat desa di salah satu kecamatan. Tentu, seperti biasa, kita harus siap juga secara finansial karena kegiatan itu dalam rangka test case elektabilitas bakal calon bupati yang kami bawa.
Tapi terlepas dari situ, saat mereka sembahyang, si bakal calon bupati, saya dan tim justru "dipaksa duduk" di halangulu (di tempat terhormat), bahkan hingga acara tuntas. Saya hanya mengambil posisi meditasi, berdoa dalam hati dan lebih khusyuk karena suara sahabat-sahabat Muslim tadi sedang mendaraskan doa dalam bahasa Arab.
Mungkin saja secara politis, kami adalah tamu kehormatan bagi mereka. Tapi sejujurnya, saya pribadi justru merasa lebih dari itu. Saya merasa kalau kami sedang diperlakukan sebagai mayoritas.
Tahun 2017 lalu, sekitar bulan Juni, di kota Medan ini, seorang yang mengaku anggota sekte Saksi Jehova yang kerjanya sebagai tukang cukur tiba-tiba mengatakan saya sesat, karena Katolik. Asal tau, dia sedang menguasai tubuhku saat itu.
Bagaimana tidak, dia sedang mencukur rambutku dengan gunting yang tajam. Jadi selama dia mencukur rambutku saya biarkan dia berkotbah. Tentu saja, daripada telinga gue digunting sama dia hahaha...
Tapi setelah selesai, saat membayar, saya tak mengeluarkan uang. "Bah, kenapa Lae tak bayar?" protesnya.
"Hei, Lae. Dari tadi, selama Lae mencukur rambutku, telinga dan otakku bertambah pusing. Jadi kau seperti mencukur "seekor Domba yang tidak mengembik saat dikurbankan".
Itu baru satu hal. Dari tadi juga saya mendengar 57 kali Lae mengulang kalimat, "Bagi kami saksi-saksi Yahowa, Allah telah menyiapkan surga. Bahkan di dunia ia telah menyiapkan segala kebutuhan kita, bahkan ketika kita tak berbuat apa-apa. Itu karena dia Allah yang mencintai kamu para hambaNya.'
Jadi, Lae mau apa lagi? Untuk apa uang? Bukannya Allah telah menyiapkan segalanya? Salah sendiri mengatakan bahwa menjadi tukang cukur itu murni karena panggilan Allah untuk merapikan ciptaanNya. Jadi, harusnya Anda yang bayar. Karena saya jadi korban yang mendengarkan omong-omong mu yang sesat itu.
Tapi enggak apa-apa. Saya tahu lae sangat mengimani Allah. Jadi ini saya berikan biaya pangkas saya dan sedikit bonus. Itu bukan uang saya, tapi uang yang dititipkan Allah ke saya untuk kamu, tetapi dengan pesan, 'Katakan kepada si tukang cukur itu, kalau mencukur rambut orang janganlah berkotbah dan mewartakan kesesatan.' begitu, Lae."
Beberapa menit kemudian, saya pergi. Dia ambil uangnya tetapi dengan ekspresi bungung dan kesal. Saat itu, saya merasa kalau bapak tadi seorang minoritas yang sombong. Tentu saja saya merasa mayoritas di hadapannya.
Lusius Sinurat
Posting Komentar