Mereka hanya bisa mempertontonkan kebodohannya saat berebut tahta, harta dan kenikmatan duniawi lainnya. Kalaupun ada nilai dari atas panggung politik tadi, maka nilai itu hanya datang dari prasangka baik dari para penonton yang notabene adalah pengikut mereka.
Berikut kelompok pentonton dramaturgi politik di atas:
Pertama, penonton yang dipilih langsung oleh sang "aktor" panggung politik tadi. Biasanya mereka yang dipilih adalah orang-orang yang punya banyak waktu menonton berita politik di televisi, membaca koran dan majalah politik. Itu tugas pertama mereka. Selanjutnya tugas pokoknya adalah memposting segala hal-hal baik tentang sang aktor politik yang diikuti di media sosial, sembari menepis segala berita miring (kendati benar) tentang si bos yang membayarnya. Mereka inilah yang kita sebut sebagai BUZZER.
Kedua, penonton langsung, yang fokus memperhatikan akting si aktor politisi jagoannya tadi. Mereka harus membuang jauh-jauh anggapan bahwa panggung politik sama dengan panggung seni. Bagaimana tidak, bila di panggung seni, para aktor dan aktris dibayar karena profesionalitas dan totalitasnya berakting, maka di panggung politik justru para aktor yang membayar penonton yang secara langsung menyaksikan akting mereka.
Mereka tak peduli pada topik yang sedang ditampilkan di panggung. Tugas mereka hanya tertawa dan bertepuk tangan saat sang jagon jago menghujat lawan, membongkar aib lawan, dan segala hal yang menjatuhkan lawan main.
Tugas utama dari penonton langsung ini adalah menjilat "pantat" sang politisi jagoan. Memujanya setinggi langit dan menampilkan sang jagoan tanpa cela saat wartawan dan reporter meminta tanggapannya tentang sang bos. Mereka ini adalah orang-oarng yang terlibat langsung sebagai TIM SUKSES sanga jagoan.
Ketiga, penonton yang mengagumi "kehebatan" akting seorang politisi dan perlahan mulai menyukai orangnya. Beberapa dari antara mereka mendukung dari jauh dan lewat media sosial. Tetapi tak sedikit juga yang mengumumkan kepada publik bahwa ia adalah pimpinan relawan sang aktor jagoannya. Pengakuan ini dianggap penting karena mereka berharap kelak mendapat berbagai kemudahan bila jagoan menang, dan siapa tahu dia akan dijadikan jadi seorang pejabat. Kelompok ketiga ini adalah sebagai RELAWAN (berbayar atau murahan).
*****
Kita tahu bahwa tak seorang politisi pun yang bersih dari kepentingan. Hebatnya, sebagai seorang aktor politik, mereka jago membungkus kepentingan itu lewat kata-kata atau ungkapan-ungkapan, bahkan kalimat-kalimat agung ini: "Saya menjadi capres/cawapres tak lain demi kepentingan bangsa dan negara", ".....demi bangsa dan negara", ".....untuk mewujudkan perubahan", ".....demi kesejahteraan rakyat", ".... demi kemaslahatan ummat", dst.
Sejujurnya, para politisi inilah yang merusak makna sebenarnya dari kata-kata di atas. Tepatnya, ketika para aktor politik tadi selalu membungkus kepentingan pribadinya lewat diksi "demi kepentingan bangsa dan negara."
Akhirnya, siapa saja yang berbakat jadi aktor politik yang mumpuni dan tak mampu ber-aksi di "lapangan" layak digolongkan sebagai politisi kawakan, politisi hebat, atau politisi berpengaruh. Itu karena banyak politisi memilih menjadi seseorang yang menjalani hidup secara hipokrit (munafik).
Lusius Sinurat
Posting Komentar