Faktanya, partai-partai pasti lebih menyukai caleg jenis ini, daripada caleg yang masih punya idealisme tapi tak punya duit.
"Sian dia ma luluon niba hepeng 3M na laho mancalon on (Dari mana coba saya bisa mengumpulkan duit 3M untuk mencalonkan diri)," curhat seorang caleg DPRD tingkat kabupaten yang kebetulan sudah mendaftar dan lolos seleksi.
Si caleg ini sudah sejak lama mempersiapkan diri justru ditelikung oleh caleg baru yang punya banyak duit. Sebulan terakhir, si caleg kaya itu langsung mendapat nomor urut satu sebagai celg di partainya.
Usut punya usut, ternyata si caleg kaya tadi telah jor-joran menggelontorkan duitnya ke partai dan ke masyarakat, melalui pesta-pesta adat perkawinan, karang taruna, dan berbagai pesta lain yang ia selenggarakan sendiri untuk masyarakat di dapilnya.
Hal yang sama dikeluhkan salah satu caleg yang akan mencalonkan diri sebagai anggota DPRD tingkat provinsi. Sebut saja namanya si Sudung.
"Bah au pe hualami sandiri do i, lae. Nunga 2 taon lobi iba paradehon pencalonan on. Jala saleleng on las rohaku ala songon na hu au do tarida dukungan ni jolma di dapil i. Hape, alani caleg parhepeng si maup i, las marlao an nasida tu ibana. Hubege, goarni ibana nama sonari on gabe barita di dapil nami ia.dang goarhu be songon nasalpu i," curhat Sudung.
Sudung ikut berbagai pengalamannya. Ia mengeluh betapa persiapannya selama 2 tahun dalam rangka pencaleg-an sirna begitu saja hanya karena ada calegyang kaya raya mencalonkan di dapil yang sama.
Masalahnya masyarakat di dapilnya juga memang bermental mata duitan. Tak heran bila si caleg kaya raya itu kini jadi idola baru masyarakat karena "murah hati" berbagi duit dalam berbagai kesempatan kepada mereka.
Rupanya bukan hanya persaingan merebut jabatan presiden dan kepala daerah yang begitu kompetitif. Pencalonan angota legislatif juga sama.
Teknisnya pun sama, bahkan kalimat yang mereka ucapkan pun kurang lebih sama, "Kalau nanti aku duduk kursi (DPR/Presiden/KepalaDaerah/etc), saya akan mendahulukan kepentingan rakyat (di sini)."
Oleh si caleg kaya, kalimat ini bahkan sering ditambahkan, "Lihatlah dengan mata kepala Anda sendiri. belum menjabat saja, aku sudah memperbaiki jalan ke desa kalian."
*****
Orang-orang seperti inilah yang merusak suasana pesta demokrasi, bahkan menutupi keseriusan dari segelintir caleg yang masih punya idealisme memperjuangkan rakyat (di dapilnya) bila menang dalam pileg.
Percaya atau tidak, pasti masih ada satu dari ribuan caleg di negeri ini yang memang sungguh ingin melayani masyarakat lewat jabatannya. Mereka adalah orang yang ingin membantu masyarakat. Hanya saja, mereka sering kalah karena tak punya sumber daya yang mumpuni dan dana yang besar.
Bagi orang jenis ini, menjadi anggota dewan legislatif adalah salah satu jalan untuk memperjuangkan hak-hak rakyat lewat suaranya kepada legislatif.
Dalam perjuangannya menjadi anggota dewan, ia memang tak punya spanduk dan baliho di sepanjang jalan, juga tak punya panggung di lapangan terbuka untuk menyampaikan misinya.
Ia hanya sanggup berkunjung dari rumah ke rumah warga, ke lapo-lapo, ke komunitas-komunitas kecil, dan sebagainya.
Tentu saja ia tak mungkin memperbaiki jalan rusak ke pelosok-pelosok selama proses pencalonannya. Selain karena ia tak punya duit, ia tahu bahwa itu adalah tugasnya setelah duduk di kursi legislatif.
Caleg seperti ini tak memaksakan diri berbuat baik agar menang selama proses pencalonan, tetapi ia akan berjuang memenangkan hak-hak ralkyat yang memilihnya.
Singkat kata, dalam ukuran masyarakat umum yang masih menganut money politic di setiap pemilu, pileg dan pilkada, tipe caleg tadi bukanlah caleg yang baik. Tetapi kelak, bila ia diberi keempatan duduk di kursi DPR, bisa saja ia menjadi anggota legislatif yang baik.
Pertanyaannya, percayakah Anda ada satu dari seribu caleg ideal seperti ini?!?
Soalnya, partai baru Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dipimpin oleh Grace Natalie justru getol mencari jenis caleg kayak ginian : antikorupsi dan anti-intoleransi.
Lusius Sinurat
Posting Komentar