Syukurlah, pada HUT-RI tahun 2017 lalu, presiden Jokowi memediasi keduanya, dan hingga kini perselisihan itu tak lagi begitu kentara.
Seorang pemimpin memang tak boleh sentimentil. Ia tak boleh berlagak bos dan punya infalibilitas atau tak pernah salah. Mungkin di tempat Anda bekerja, saban hari Anda harus berhadapan dengan bos model ini. Di pemerintahan misalnya, bos model sentimentil beginian banyak juga tuh.
Mereka dengan mudah memutasi bawahan yang mengkrituknya, bahkan menjadikan sang bawahan tadi sebagai musuh bebuyutan. Tak hanya itu, si bos akan mewartakan kepada seluruh bawahan yang lain, "Jangan seperti bapak ibu X itu. Dia tak tau diri. Masak bawahan tidak tunduk pada atasan?"
Terkadang si bos nan sentimentil ini juga akan bertindak lebih jauh terhadap bawahan tadi. Kesempatan naik jabatan atau sertifikasi tak diberi. Bahkan jabatannya dicomot tanpa pemberitahuan dan memberi penilaian negatif sebagai rekomendasi si bos ke atasannya.
Tadinya saya tak percaya ada bos beginian. Namun membaca berbagai buku biografi orang besar, menonton film bertema pekerjaan tertentu, dst, model pemimpin sentimentil ini rupanya banyak juga.
Saya tak menyebutnya jenis pempin di atas sebagai pemimpin otoriter, karena si otoriter tak memimpin berdasarkan emosinya, tetapi dengan power yang melekat pada dirinya. Sementara si pemimpin sentimentil tadi hanya memutuskan sesuatu berdasarkan sensitivitasnya.
Nah, berhadapan dengan pemimpin sentimentil begini para bawahannya lebih memilih diam, cari aman dan bahkan tak mau berhubungan langsung dengan si bos.
Sebab bahaya baginya bila tak tersenyum, hormat dan memuji si bos. Kalau punsi bawahan tadi ingin menyampaikan keberatannya, maka ia akan menyampaikannya kepada sesama bawahan, dan pada saat bos tak masuk kantor atau pergi jauh ke luar kota.
Biasanya sih hanya pada momen seperti itulah para bawahan tadi menjadi dirinya. Komunikasi tertutup dan penuh kepura-puraan inilah yang selalu menjadi penghambat produktivitas kerja si basahan, pun si atasan yang selalu curiga pada bawahannya.
Dalam kontekas pilkada dan Pilpres, mengenal calon pemimpin yang Anda akan pilih adalah salah satu syarat utama. Bila dalam proses kampanye mereka selalu merendahkan kompetitornya dihadapan publik dan terlalu percaya diri akan menang, sebaiknya Anda tak usah pilih.
Seorang pemimpin memang tak boleh sentimentil. Ia tak boleh berlagak bos dan punya infalibilitas atau tak pernah salah. Mungkin di tempat Anda bekerja, saban hari Anda harus berhadapan dengan bos model ini. Di pemerintahan misalnya, bos model sentimentil beginian banyak juga tuh.
Mereka dengan mudah memutasi bawahan yang mengkrituknya, bahkan menjadikan sang bawahan tadi sebagai musuh bebuyutan. Tak hanya itu, si bos akan mewartakan kepada seluruh bawahan yang lain, "Jangan seperti bapak ibu X itu. Dia tak tau diri. Masak bawahan tidak tunduk pada atasan?"
Terkadang si bos nan sentimentil ini juga akan bertindak lebih jauh terhadap bawahan tadi. Kesempatan naik jabatan atau sertifikasi tak diberi. Bahkan jabatannya dicomot tanpa pemberitahuan dan memberi penilaian negatif sebagai rekomendasi si bos ke atasannya.
Tadinya saya tak percaya ada bos beginian. Namun membaca berbagai buku biografi orang besar, menonton film bertema pekerjaan tertentu, dst, model pemimpin sentimentil ini rupanya banyak juga.
Saya tak menyebutnya jenis pempin di atas sebagai pemimpin otoriter, karena si otoriter tak memimpin berdasarkan emosinya, tetapi dengan power yang melekat pada dirinya. Sementara si pemimpin sentimentil tadi hanya memutuskan sesuatu berdasarkan sensitivitasnya.
Nah, berhadapan dengan pemimpin sentimentil begini para bawahannya lebih memilih diam, cari aman dan bahkan tak mau berhubungan langsung dengan si bos.
Sebab bahaya baginya bila tak tersenyum, hormat dan memuji si bos. Kalau punsi bawahan tadi ingin menyampaikan keberatannya, maka ia akan menyampaikannya kepada sesama bawahan, dan pada saat bos tak masuk kantor atau pergi jauh ke luar kota.
Biasanya sih hanya pada momen seperti itulah para bawahan tadi menjadi dirinya. Komunikasi tertutup dan penuh kepura-puraan inilah yang selalu menjadi penghambat produktivitas kerja si basahan, pun si atasan yang selalu curiga pada bawahannya.
Dalam kontekas pilkada dan Pilpres, mengenal calon pemimpin yang Anda akan pilih adalah salah satu syarat utama. Bila dalam proses kampanye mereka selalu merendahkan kompetitornya dihadapan publik dan terlalu percaya diri akan menang, sebaiknya Anda tak usah pilih.
Itu karena pemimpin model itu tidak akan siap menghadapi rakyat yang mengkritik atau menyalahkannya.
Lusius Sinurat
Lusius Sinurat
Posting Komentar