Publik, khususnya warganet (netizen) harus jeli membedakan mana produk pers dan mana informasi yang beredar di media sosial. Mereka harus tahu bahwa di Media Sosial hanya tersaji informasi yang bersifat subyektif.
Informasi dan berita itu dua hal berbeda
Apa yang dihasilkan oleh pers disebut berita; sementara apa yang keluar di media sosial adalah informasi. Bila pers (televisi, media cetak dan elektronik) memproduksi sebuah berita yang bersifat obyektif dan dipublikasi dari posisi netral.
Obyektif berarti memberitakan sebuah fakta secara jujur dan obyektif. Berita (produk pers) diolah oleh wartawan dengan kompetensi tertentu. Sementara informasi (produk media sosial) dapat dipublikasikan oleh siapapun, tanpa memandang latar belakang mereka.
Kita tahu bahwa seorang wartawan harus paham kode etik jurnalistik yang berada dibawah tanggung jawab Dewan Pers nasional (Pemerinah). Sementara pemilik akun media sosial berada dalam pengawasan UU-IT yang belum lama diundangkan pemerintah.
Benar bahwa "pemberi informasi" di media sosial secara legal-formal tak terikat dengan kode etik. Namun perlu diketahui bahwa Facebook, Twitter, Instagram, dan media sosial lain memiliki prasyarat tertentu, seperti privacy policy, disclaimer dan TOR dalam profilnya.
Kenyataannya, beberapa warganet (netizen) atau pemilik akun media sosial sudah dijebloskan ke penjara karena melanggar UU-IT, seperti menyebar berita bohong (hoax), ujaran kebencian dan menghina simbol-simbol negara seperti kepala negara, dst.
Informasi Sepanjang Pilkada
Dalam konteks demokrasi, khususnya Pilkada serentah tahun ini, kasus penyebaran informasi palsu, ujaran kebencian, dan tafsir subyektif demi menelanjangi lawan politik oleh petarung di pilkada justru marak di media sosial.
Misalnya, pendukung Cagubsu 1 memfitnah Cagubsu 2 di pilkada Sumut, dan sebaliknya. Apakah kasus seperti ini termasuk pelanggaran UU-IT? Atau, ini hanya seni berdemokrasi?
Padahal tak jarang terjadi akibat perbedaan pandangan politik dalam konteks Pilkada justru menyebabkan polarisasi ditengah masyarakat; dan itu justru bermula dari perang di media sosial. Ketika timses paslon gubernur X mencari-cari kelemahan cagub Y dan mempublikasikannya di medsos, maka timses gubernur Y akan membantah hingga terjadi perang di dunia maya. Tak jarang hal ini berujung pada konflik di dunia nyata.
Medsos Hanya Membentangkan Informasi Subyektif
Sebagai produk pers, berita hanya akan diterbitkan setelah melalui proses redaksional dan dianalisa dengan standar yang ketat, sembari memperhitungkan kode etik jurnalistik. Hal ini terkait dengan pertanggungjawaban pers kepada masyarakat pembacanya.
Sebaliknya, informasi yang disebar di media sosial lebih bersifat subyektif, ditulis dan dipublikasi oleh pemilik akun dan dipertanggung jawabkan secara pribadi. Itu lantas berarti informasi apa pun yang sesat boleh disebar dan tak akan terjadi masalah kecuali ada orang yang melaporkan kesesatan itu ke pihak berwajib.
Demikianlah media sosial tak mengenal kode etik jurnalistik sebelum mempublikasikan sebuah informasi kepada publik. Berbeda dengan berita yang diliput dan digali dari sumber yang jelas oleh wartawan yang identitasnyajelas dan dapat ditelusuri publik. Sementara di media sosial, identitas penyebar informasi bisa saja palsu, bahkan tak jelas siapa yang empunya.
Ringkasnya, informasi yang disebar di media sosial bukanlah produk pers, bahkan ketika informasi itu disebar dengan identitas yang jelas dan isinya memenuhi kaidah standar jurnalistik. Itu karena si empunya media sosial bukanlah wartawan yang mempublikasikan sebuah karya tulis melalui proses redaksional.
Posting Komentar