"Sedih kali kurasa pak. Hampir semua orang di daerah bersemangat memilih hanya gara-gara jagoanku. Tapi tampaknya kecurangan demi kecurangan dalam rekapitulasi jumlah suara malah marak terjadi.
Pendidikan kebohongan seperti inikah yang harus kita ajarkan ke murid-murid kita?" tanya bu Assoy, sang guru senior geram.
"Bah. Kenapa pula ibu merahin aku? Faktanya memang negeri ini masih seperti itu. Tapi tak lantas berarti ibu harus putus asa.
Sebagai guru kita justru harus mengajarkan kejujuran itu di depan kelas. Kita bisa sampaikan kepada murid-murid kita bahwa:
(1)
Hal termahal di Indonesia ini adalah kejujuran. Basa-basi dan segala bentuk kamuflase ditengah masyarakat justru menjadi primadona dalam mengungkapkan kebohongan.
Saya harap adik-adik sekalian harus berani menghilangkan kebiasaan basa-basi busuk semacam itu. Hidup itu apa adanya saja.
(2)
Orang selalu mengatakan " ya" tapi menolak, dan mengatakan "tidak" tapi melakukan. Masyarakat kita seakan lebih suka menyenangkan telinga orang tetap sekaligus menyakiti hati mereka.
Saya harap kalian kelak menjadi orang jujur, yang mengatakan "ya" untuk "ya" dan mengatakan "tidak" untuk "tidak'.
(3)
Di dunia politik, para calon pemimpin kita selalu melakukan kebohongan yang sama. Di setiap kampanye mulut mereka manis seperti gula. Anehnya, mayoritas masyarakat kita juga setuju dengan kebiasaan itu.
Sebagai guru, saya berharap kalian harus berani menghilangkan kebiasaan bohong sepert itu ya.
(4)
Sebagai guri saya juga sering terpaksa melawan ajakan nurani saya, dan terpaksa berbohong. Ibu harus akui bahwa nilaimu terkadang tak memenuhi standar.
Namun kami para guru tak mau dipersalahkan sebagai guru tolol oleh dinas pendidikan hanya karena kami jujur menulis nilai 3,75 di raportmu. Itu berarti, baik di rumah maupun di sekolah kamu pasti menemukan banyak kebohongan yang terjadi.
Saya hanya minta satu hal dari kalian, lawanlah setiap kebohongan itu dengan tindakan jujurmu, bahkan ketika terjadi konflik gara-gara upayamu menegakkan kejujuran itu.
(5)
Kebohongan itu ternyata tidak hanya terjadi di rumah, sekolah dan dalam pergaulan sehari-hari. Kebohongan bernama hoax, ujaran kebencian, gosip dan adu domba bahkan jauh lebih banyak tampil di dunia maya. Ya, di media sosial.
Setiap hari kamu ada di sana, dan setiap hari juga segala bentuk ujaran bernada kkebohongan dan perkataan bahaya kamu temui di sana.
Harapan saya sebagai gurumu, dalam bermedia sosial, kamu harus belajar menahan diri sebelum memposting atau mengomentari postingan orang lain.
Toh melaluo latihan-latihan mengerjakan soal-soal Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Sejarah dan mata pelajaran lain kalian telah kami didik untuk kritis dan mengembangkan kemampuan analitismu.
Makan, jadilah manusia yang bijaksana dalam bermedia sosial. Tebarkanlah hasil positif di akun mendsosmu, dan jauhilah memposting sesuatu yang akhirnya akan mencelakai sendiri.
Sepertinya kelima poin di atas sudah cukup bagi seorang guri dan pendidik dalam mengekspresikan sikap politisnya.
Lusius Sinurat
Posting Komentar