iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Kebenaran Bersertifikat

Kebenaran Bersertifikat
Demokrasi membuat yang salah itu menjadi benar, tentu bila lebih banyak orang mengamini yang salah. Hal yang sama berlaku pada hal yang benar.

Jualan gelar S1, S2 hingga S3, baik oleh perguruan tinggi dengan status tak jelas hingga universitas yang kekurangan mahasiswa akan dianggap benar ketika ada kebutuhan.

Kebutuhan yang dimaksud adalah tuntutan pemerintah agar sekolah hingga perguruan tinggi harus memiliki SDM bergelar S1, S2, S3, bahkan profesor doktor segala.

Secara nyata kita melihat dengan mata kepala sendiri betapa banyak aparatur sipil negara yang ingin naik golongan, dosen/guru PNS atau swasta, pejabat publik yang demen jadi bupati hingga gubernur, atau pengusaha yang kepengen penambahan gelar di belakang namanya.

Pendek kata, tawaran sejumlah perguruan tinggi yang membuka "posko penjual gelar" hingga kuliah jarak sangat jauh itu bermula dari "tawaran baik" kepada aparaturnys untuk naik golongan dan naik gaji asal punya gelar S1, S2, S3 hingga bergelar profesor doktor segala.

Singkatnya, ini adalah cara pemerintah untuk mendeteksi siapa saja aparturnya yang lebih mengutamakan jabatan dan uang dan mana yang masih punya idealisme.

Ternyata pemerintah benar. Revolusi mental pun terjadi. Ya, minimal pemerintah semakin sadar bahwa masyarakatnya, terutama sebagian besara aparturnya (sipil/militer) ternyata lebih menyukai kepalsuan daripada orisinalitas.

Sekali lagi, salah itu memang benar dan benar itu memang salah.

"Memang kau tak tertarik jadi kepala sekolah?" tanya Borjong kepada Borokokok.

"Tertarik sih, bro. Tapi saya sadar bahwa aku cuma tamatan S1 dari Sekolah Tinggi," jawab Borokokok polos.

"Jiah. Hari ini masih puas dengan gelar S1. Sarjana itu udah kayak gelar sejuta umat bro. Tapi gak apa-apa. Gini aja. Kebetulan Amangboruku menjabat rektor di Universitas XYZ sana. 

Dia bahkan udah nawarin gelar master ke aku hanya kuliah secara simbolik. Cukup kuliah di hari pertama saja. Selanjutnya beres deh," tawar si Borjong ke Si Borokok.

"Memang pernah kudengar itu. Tapi aku tak punya uang lae. Katanya sih 25 juta per paket S2 dan 50 juta untuk gelar S3," Borokokok mulai tergiur.

"Ah, tak sebanyak itulah. Di tempat amangboruku itu cuma 15 juta untuk gelar Master dan 30 juta untuk gelar Doktor. Nah, kalau lae tertarik, saya akan daftarkan segera. Kalau lae tak punya uang, aku pinjamin deh.

Cuma 2,75 % aja kok bunganya. Bahkan lae bisa bayar setelah dapat gelar S2 dan jadi kepala sekolah di SMAK kalian itu. Gimana? Borjong semakin bersemangat menawarkan bisnis pendidikan ini.

Percakapan di atas sering saya dengar, mulai di kalangan guru dan dosen, di cafe-cafe bersama teman kongkow, di kantor-kantor pemerintah, bahkan dalam perbincangan di media sosial.

Nyatanya fakta di atas sudah terlanjur dianggap benar. Banyak kok yang berhasil mendapatkan gelar S2 dan S3 dengan kuliah jarak jauh, kuliah di PTS di ruko-ruko, atau dengan kuliah di PTN pilihan mereka.

Hebatnya lagi, tak sedikit uang pemerintah lewat Kemenristek Dikti dan Kemendikbud yang dihabiskan untuk membelikan gelar itu kepada ASN yang menjabat di sektor-sektor strategis.

So, fakta ini menegaskan bahwa yang oleh sebagian kecil orang dipandang salah, ternyata oleh mayoritas warga justru memandangnya sebagai "KEBENARAN BERSERTIFIKAT".

Kalau Anda tertarik dengan gelar-gelar hebring, mulai dari MM, MBA, MH, MSos, MSc atau sejumlah gelar yang kepanjangannya bahkan asing di telinga kita, silahkan hubungi rektor atau ketua Perguruan Tinggi terdekat atau pejabat yang lebih tinggi dari Anda di pemerintahan, perusahaan atau lembaga tempat Anda bekerja

Percayalah, mereka akan membukakan pintu untuk Anda. Sekali lagi, jangan anggap hal ini salah, karena telah banyak perguruan tinggi swasta dan negeri telah mengesahkan kebiasaan di atas sebagai sebuah kebenaran.

Tak hanya sekedar kebenaran, tetapi serentak KEBENARAN BERSERTIFIKAT.
Selamat mencoba...



Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.