Kenyataannya, demokrasi justru menjadikan identitas agama (selain suku, ras dan segala identifikasi kultural yang berbeda) sebagai senjata untuk berkompetisi : myoritas vs minoritas.
Tak dapat disangkal bahwa dalam pertarungan kepentingan politik, mayoritas warga sebuah negara hampir selalu didata berdasarkan agama yang dianutnya.
Konsekuensinya, sehebat apapun seorang warga negara Arab yang keturunan Raja tapi beragama Yahudi, maka tak mungkin dipilih jadi raja. Sebaliknya, sejago apapun warga Spanyol yang beragama Islam, ia tak mungkin jadi perdana menteri disana. Mi imal saat ini.
Demokrasi adalah jembatan politik yang dibangun di atas kepentingan mayoritas dan minoritas warga sebuah negara setrut agama mereka.
Saat ini, mayoritas Budha di negara Thailand, Nepal, Sri Lanka, etc tak mungkin rela punya perdana menteri diluar Budha. Sebagaimana juga demokrasi di Malaysia, Indonesia, Bangladesh, Pakistan, etc tak mungkin memenangkan pemimpin diluar Islam.
Begitupun di Amerika serikat dan Amerika Latin, Jerman, Itali, Irlandia, Inggris, spanyol, etc belumlah rela dipimpin warga diluar agama Kristen.
Demokrasi memang baik, tapi secara teoretis. Tetapi dalam praktiknya, cara mendapatkan suara terbanyak dalam pemilu justru menggunakan agama. Memang identitas agama lah alat paling mudah memenangkan suara mayoritas.
Mendekati ustadz, uskup, pendeta, bikhu terkenal ternyata masih diminati para politisi pengais kekuasaan di negeri ini. Para calon gubernur di sumut, mislany masih yeyap melakukan praktik itu. Begitu juga yang terjadi di seantero negeri ini. Tak ketinggalan saat pileg dan Pilpres.
Singkat kata, agama hanyalah salah satu alat demokrasi. Agama memang tak lebih dari sekedar alat kepentingan. Para politisi sadar bahwa peraup suara terbanyaklah yang memenangkan pertarungan. Tapai siapa mereka?
Si empunya suara terbanyak adalah penduduk mayoritas? Mayoritas berdasarkan aoa yang paling manjur? Kalau di negeri yang masih mabuk agama sih, ya identitas agamalah yang paling oke.
Bila kepengen jadi gubernur, anda harus baca data statistik yang dikeluarkan BPS: agama mana paling mayoritas dan punya potensi memenangkan Anda. Cukup!
Para pencari kekuasaan itu memang sangat tahu dan sadar bahwa agama bukanlah alat, dan tak mungki diperalat. Hanya saja mereka juga sangat tahu bahwa para pemimpin agama dan sebagian besar penganutnya memang mudah diperalat untuk memenangkan dirinya.
Jadi kalau ditanya syarat menjadi presiden atau perdana menteri di sebuah negara, Anda harus tahu data statistik jumlah penganut agama di negara itu. Kendati tak selalu ditulis, tapi syarat itu sudah terpatri dalam sistem demokrasi.
Tahu kenapa? Karena demokrasi memang mengisyaratkan kepentingan. Tak mungkin nnggota legislatif dari PKS memikirkan peralatan misa, perizinan pembangunan gereja, dst.
Maka kalau orang Katolik mau dapat perhatian pemerintah, ya harus punya minimal beberapa anggota legislatif di pusat dan daerah. Lha, punya 3% orang aja susah, apalagi gak punya.
Kenapa begitu? Karena tinggal statistik penganut agama yang masih dianggap rasional dalam demokrasi. Kalau suku atau budaya sih sudah pada saling kawin dan mengawinkan. hehehe.
Mengapa statistik agama masih penting? Ya, karena para politisi kita masih melihat kepentingan umat seagama yang memilihnya dalam setiap kebijakan yang nereka terbitkan.
Tapi hal itu wajar kan? Memang wajar.
Hanya saja menjadi ganjil ketika agama dijadikan alat politik, naka ia akan mengalami penurunan harkat dan martabatnya.
Tapi ya sudah. Kiat masih melangkah pada tahap ini.
Posting Komentar