UU Pemilu ada. KPU ada untuk melaksanakan UU itu. Begitu juga tak ketinggalan Bawaslu ada untuk mengawasi KPU. Selanjutnya muncullah sebagian dari rakyat yang mengumandangkan diri siap menjadi Capres, Caleg, Cagub, Cawalkot, bahkan Cabup.
Mereka mempresentasikan diri, terutama menonjolkan kelebihan apapun yang mereka sebut sebagai kelebihan mereka. Ada yang harus membangun panggung untuk itu, tetapi ada juga panggung yang disediakan sponsor mereka.
Selain elektabilitas yang dibangun sebelum pesta demokrasi, kemampuan menampilkan diri sebagai calon terbaik dan layak dipilih. Di titik ini performa calon turut memengaruhi suara rakyat calon pemilihnya.
Sesederhana itulah demokrasi: ada aturan, ada pelaksana, ada calon yang mau dipilih, hingga pelaksanaan pesta coblos-mencoblos.Tetapi pelaksanaannya kok ribet ya? Nah, itu dia persoalan demokrasi (demos = rakyat dan kratos = pemerintahan) yang berarti pemerintahan rakyat.
Persoalan itu karena ada rakyat yang ingin menjadi presiden, anggota legislatif, gubernur, bupati atau walikota tanpa memperhitungkan kekuatannya dan tanpa mengetahui secara jelas bagimana cara menggapai keinginannya itu.
Maka jangan heran ketika ada celeg, capres, cagub, cabup atau cawalkot sampai rela berlaku aneh hingga kehilangan hakikat dirinya demi mencapai tujuannya tadi. Itu karena ia tak tahu kemampuannya sendiri.
Juga jangan heran ketika ada yang memainkan SARA untuk kemenangannya. Tentu saja, karena ia tak sungguh mengetahui cara terbaik untuk mewujudkan keinginannya.
Lebih aneh lagi, tak sedikit juga rakyat yang bloon kuadrat. Sudah tak membaca UU Pemilu dan tak tahu menahu tentang aturan pemilu, bahkan keberadaan KPU dan Bawaslu, eh malah ikut-ikutan gila kayak calon yang dipilihnya.
Di media sosial, rakyat calon pemilih itu bahkan tak mampu lagi mengekspresikan dirinya secara orisinal. Mereka sering bertindaka sebagai Prabowo, Jokowi, Djarot, Rahmayadi atau calon-calon pemimpin yang mereka sukai.
Kalau begitu, Pesta Demokrasi itu jelek dong? Tidak juga. Minimal, sesudah pesta demokrasi itu rakyat akhirnya tahu ia dibohongi atau tidak, dikadalin atau dibuayain, bahkan penting tau tidak bagi orang-orang yang sudah terlanjur mereka pilih.
Seperti pesta pada umumnya, Pesta Demokrasi juga hanya berakhir untung atau rugi, surplus atau minus, profit atau malah defisit.
Konon katanya, kunci pesta demokrasi itu cuma satu: rakyat jangan terbiasa berlaku pura-pura bodoh. Kalau di negeri ini sih, katanya rakyat sudah pintar. Hanya saja mereka bisa tiba-tiba bloon setiap pemilu, pilpres dan pilkada.
#SaiNaAdongDo
Posting Komentar