"Mengapa volume suara orang-orang kita begitu tinggi saat bicara dengan orang lain, pak? Maksudku, bukan hanya Batak, tetapi juga semua orang yang tinggal di Medan dan propinsi Sumatera Utara pada umumnya.
Anehnya lagi, di setiap pertemuan atau pesat, dengan atau tanpa mic sekalipun, volume suara kita kok sama saja ya? Main hantam kromo aja," tanya Bornok kepada Binsar di sudut sebuah kampus.
"Ai songon i do hita Batak. Ai hurang puas do nihilala sipata molo dang gogo suara niba pasahatton akka na ponjot dibagas pikkiran niba tu akka dongan namambege. Kebiasaanta i diihuthon halak Jawa, Padang, Sunda, Tionghoa jala sude na ro mangaranto tu Sumut on," jawab Binsar tentang kebiasaan orang Sumut uumumnya dan orang Batak pada khususunya yang berbicara dengan volume suara super keras.
Dalam bahasa Indonesia sehari-hari, kalimat Pak Simbolon di atas dapat diterjemahkan begini, "Namanya Batak ya begitu. Terkadang kita merasa kurang puas kalau menyampaikan isi pikiran kita kepada orang lain tanpa suara yang menggelegar.
Anehnya kebiasaan orang Batak ini juga diikuti oleh orang Jawa, Padang, Sunda, Tionghoa dan semua suku yang datang merantau ke Sumut ini."
Bornok ada benarnya. Sepanjang saya tahu, saat bicara, menyanyi, bahkan ngobrol biasa, volume suara orang-orang Sumut memang relatif unik, tak biasa, karena volumenya sangat tinggi, bahkan tak jarang mereka tak memperhitungkan jarak dengan lawan bicaranya.
Maka saat orang dari Jogjakarta bicara pelan, mereka langsung protes, "Apa? Enggak kedengaran pun suara kawan ini!"
Kita tahu, pada akhirnya bahwa keragaman budaya di negeri tercinta ini telah melahirkan nuansa tersendiri.
Bila orang Jawa asli Solo datang ke Medan dan bicara dengan orang Medan, 3 menit pertama mereka bisa jadi terkejut. Tetapi menit keempat dan seterusnya mereka akan tahu bahwa begitulah cara orang Sumut menyampaikan isi pikirannya.
#AdaAdaSaja
Posting Komentar