Orang beragama sering "memperlakukan" Tuhan dengan sistem HRD perusahaan. Ya, Tuhan diperlakukan sebagai Komisaris dari agama-agama. Begini pemahaman mereka: Tuhan punya banyak saham. Ia menanamkan sahamNya di perusahaan-perusahaan bernama agama.
Ini berarti Tuhan pasti lebih "care" terhadap "agama" yang secara bisnis "profitable" dibanding "agama" yang hanya mengandalkan sumbangan sosial.
Pengkotbah Jalanan
Itu sebabnya lahir banyak "Pengkotbah Jalanan". Sebab, banyak dari kita yang justru memperlakukan Tuhan seperti kita memperlakukan atasan macam presdir, direktur, manajer bahkan sebagai CEO alias sang empunya agama.
Kita memang menghormatiNya. Namun tak jarang pula kita lebih menghormati kepentingan kita, kepentingan yang hanya bisa kita raih dengan melibatkanNya.
Bener, kita sering memperlakukan Tuhan sebagai pimpinan kita, yang tampil dalam wajah Pengkotbah Jalanan. Lebih spesifik lagi, kita hanya mengimani Tuhan yang menggaji alias memenuhi kebutuhan kita.
Para pengkotbah, penjual teks suci, dan para penjual tafsir atas nama kepentingan audiens atau "pengikut Tuhan" itulah yang mengajari kita seperti itu.
Mereka begitu hebat memainkan diksi dan mempromosikan diri sebagai "hamba Allah" atau kata lain dari "orang kepercayaan" dalam bisnis.
Para Teolog
Di sisi berseberangan ada para teolog dan ahli kitab yang makin hari justru semakin terpinggirkan dari mileu (lingkungannya) sendiri.
Oleh siapa lagi kalau bukan oleh pengaruh besar para penjual Firman tadi?
Padahal kemampuan para teolog mengubah paradigma berpikir dan mengembalikan esensi Tuhan sebagai sebuah eksistensi mandiri amatlah dibutuhkan jaman ini.
Namun pendekatan teologis yang mereka lakukan justru kalah oleh pendekatan promotif dari pmpara pengkotbah jalanan yang cukup bermodalkan "bacaan suci" di Fesbuk, Instagram, Path, Twitter, Digg, Periscope, Medium, Tumblr, dst.
Begitulah terjadi. Di bangku perkuliahan Fakultas Teologi, Fakultas Syariah dan sejenisnya, eksistensi Tuhan pun sungguh tak menarik mereka presentasikan.
Nyatanya, kemampuan mereka menafsir teks-teks suci malah menjadikan mereka sebagai menjadi yang sangat hati-hati saat mengajar di ruang kelas.
Kehati-hatian ini tak lain terkait dengan tugas mereka sebagai penjaga kesucian ajaran Tuhan, yang tak sembarang dijadikan barang jualan.
Para teolog itu bahkan tak peduli ini jaman progresif atau malah masih jaman tradisional. Bagi mereka, Sabda Allah yang hadir lewat Kitab Suci tak akan pernah lekang oleh jaman. Apalagi sampai tergantung dengan kebutuhan jaman.
Inilah penyebab mengapa pasar penginjilan atau pasar syi'ar mereka justru dikuasai okeh oara pengkotbah jalanan tadi.
Lagi, para teolog dan profesor Kitab Suci justru sering jatuh dalam sikap "tak pantas" menjadi "hambaNya". Sebaliknya, para pengkotbah jalanan tadi justru dengan enteng menjual Ajaran Agama untuk meraup dukungan massa sekaligus finansila untuk dirinya.
Oara pengkotbah jalanan itu pun rajin menawarkan "ajaran Tuhan" dengan cara seorang pekerja pemasaran yang saban hari menawarkan kredit dengan bunga kecil di sebuah bank, atau malah seperti sales asuransi yang sering mengkonversi kematian dan penyakit sebagai gerbang betbagi warisan.
Lagi, para pengkotbah jalanan itu malah sering berasal para pesohor yang sedang redup lalu berpindah agama dan menjadi pendakwah / prngkotbah khusus tentang fanatisme.
Para pencinta sulap dan silat lidah
Dunia kiwari memang sedang diukuasai oleh orang-orang kreatif, tepatnya mereka yang bisa mengubah batu jadi roti, menyulap sampah organik jadi tas dan dompet cantik.
Dan lebih khusus lagi, mereka adalah orang-orang yang mampu mengemas karma, pahala, dan ganjaran surga secara ciamik dari podium ber-sound system sempurna lewat penyembuhan-penyembuhan terstruktur.
Disaat seorang teolog menyebut dirinya sebagai "orang yang sedang mencari Tuhan lewat kemampuan akal budi dan pengalamannya", maka disaat yang sama si pengkotbah jalanan justru dengan pede menyebut dirinya sebagai "Hamba Allah" yang mendapatkan ilham dan panggilan langsung dari Sang Komisaris Agama. imampukan oleh Allah sendiri untuk mengetahui Firman-Nya".
Memang ada yang salah dengan dunia kita saat ini. Kebenaran semakin direlativisir, bahkan tak jarang kebenaran tergantung pada dominasi kelompok tertentu.
Hampir pasti para teolog dan ahli kitab akan kalah jumlah. Mereka hanya punya mahasiswa dan sesekali dihadirkan sebagai saksi ahli di persidangan kasus penistaan agama, atau menjadi pembicara di kelompok-kelompok terbatas.
Konsekuensinya, para teolog selalu tertinggal jauh oleh para pengkotbah jalanan dalam hal menetapkan target atau meyakinkan orang bahwa ia adalah representatif dari sebelum berkotbah.
Lantas mengapa para teolog dan ahli agama malah tersingkir oleh para pengkotbah jalanan?
Pertama, karena jumlah mereka lebih kecil; begitu juga dengan pengikutnya. Di sisi lain seorang pengkotbah jalanan justru punya waktu untuk mencari pengikutnya saban waktu, bahkan dengan caranya yang menarik.
Kedua, seorang teolog selalu mengimani Tuhan, Sang ketidak-terjangkauan dalam kehadiranNya sangat realistis, secara alami.
Sementara para pengkotbah jalanan justru tak pernah membiarkan Tuhan tidur sedetik pun, karena mereka dengan sengaja memaksa Tuhan selalu sibuk untuk mengurusi perkara hdupnya.
Refleksi
Stephen Hawking ada benarnya saat mengatakan: "(Konsep tentang) Tuhan harus ditiadakan agar dunia bisa bertumbuh dalam pergolakannya." Perkataan Hawking ini bisa dimengerti sebagai peringatan bagi siapapun yang menyebut dirinya beragama.
Stephen Hawking ada benarnya saat mengatakan: "(Konsep tentang) Tuhan harus ditiadakan agar dunia bisa bertumbuh dalam pergolakannya." Perkataan Hawking ini bisa dimengerti sebagai peringatan bagi siapapun yang menyebut dirinya beragama.
Bagaimana tidak, para pengkotbah jalanan ikita terlalu sering mengungkapkan kebiasaan bicara banyak TENTANG Tuhan, apalagi menjual ajaranNya. Di sisi lain kita harus mulai memberi ruang dan waktu untuk berbicara sejenak saja DENGAN Tuhan.
Toh Tuhan bukanlah majikan kita, sehingga kita boleh absen saat Ia telat membayar gaji kita. Berbagai kewajiban agama, baik secara ritual maupun secara moral pada akhirnya bukanlah untuk memaksa Tuhan selalu siap untuk kita.
Sebetulnya, seseorang yang beragama punya kewajiban mengimani Tuhan dan mengalamai kehadiranNya secara nyata. Bukan sebaliknya ia malah menjadikan Tuhan sebagai "sales kit" alias merek jualannya dari podium megah milik jemaatnya.
Bila itu yang terjadi, maka Anda tergolong pengkotbah jalanan, karena ia selalu memperjual-belikan ajaran-Nya dengan harga sangat murah.
Lusius Sinurat
Posting Komentar