Sumber: Internet
|
Ketika si Iman ketahuan melakukan tindakan mesum dan mengumbarnya ke publik, lantas kelompoknya bersumpah kalau Iman tak mungkin melakukan hal itu karena ia seorang pengajar kesucian.
Ketika si Aman ketahuan sedang menebar hoax dan menuduh pemerintah sebagai antek-antek komunis dan sedang menghidupkan kembali PKI hingga ia pun ditangkap, maka kelompoknya berlomba-lomba mengatakan bahwa hanya negara komunis yang memikirkan kesejahteraan rakyatnya.
*****
Lewat media sosial, penyembahan kepada Tuhan semakin bergeser menjadi penyembahan kepada orang. Sedemikian sehingga, idolatry yang biasa menghampiri kaum remaja kini justru telah merajai pikiran masyarakat dunia.
Kini, kaul ketaatan justru dipahami banyak orang sebagai proses "menghilangkan jati diri sendiri sembari mengisinya dengan gambaran orang yang diidolakan."
Sebetulnya tak jadi soal bila yang diidolakan itu adalah Musa, Yesus, Muhammad, Sidharta Gautama, Dalai Lama, dst. Walaupun pada kenyataannya para nabi dan pendiri agama-agama besar itu tak pernah mengajarkan pengikutnya untuk mati konyol demi diri mereka.
Ringkasnya, bila di ranah spiritual, ketaatan kepada pemimpin merupakan ketaatan yang membebaskan, maka ketaaan kepada pemimpin komplotan penjahat kemanusiaan tak lain adalah ketaan yang membebani, bahkan mematikan.
Hal yang sebaliknya justru terjadi hari-hari ini. Masing-masing dari para pemimpin gerombolan teroris, komplotan penikmat paham radikalisme, bahkan gembong narkoba justru semakin diminati.
Tragisnya, para pengikut tadi justru bersedia diindoktrinasi hingga disumpah untuk setia kepada pemimpinnya hingga rela mati konyol.
Aneh bin ajaib. Pengikut komplotan yang mengamini bahwa "membunuh sebagai perintah mutlak dari Tuhan" justru semakin hari semakin bertambah.
Orang yang Eropa yang kita anggap rasional dan lebih mengagungkan Ilmu pengetahuan daripada agama, kini justru kehilangan pegangan hidup hingga tak sedikit juga dari mereka bergabung dengan teroris di Timur Tengah sana.
Demikian juga orang Indonesia yang sejak dahulu kala dianggap sebagai bangsa yang ramah, kini justru menjadi bangsa pemarah, bahkan ketika satu sama lain dari mereka berbeda agama.
*****
Kurikulum Pendidikan yang begonta-ganti tiap mendikbud bahkan tak mampu melahirkan banyak pemikir yang sungguh mampu berpikir (rasional).
Sebaliknya, para sarjana hingga profesor doktor yang mengajar di kampus-kampus negeri dan swasta justru lebih menikmati berteriak "kafir" daripada memaksimalkan otaknya berpikir mengajar mahasiswanya.
Entah apa jalan keluar dari persoalan ini. Para ahli teroris bahkan sering menjadi alter-teroris alias teroris berwajah lain. Aparat keamanan bahkan sering diam-diam mendukung bahkan mengagumi "hebatnya" aksi apra teroris itu.
Mau meminta ahli kitab dan ahli agama untuk mencegah terorisme dan geraka radikalisme? Tungguh dulu. Nyata bagi dunia bahwa terorisme justru tumbuh subur di tangan para pengkotbah itu.
*****
Ya, dunia memang sedang gundah dan setiap penghuninya seakan ditakuti oleh hasratnya untuk menjadi terkenal. Ya, minimal di media sosial.
Bagaimana tidak, seperti kata si Balakutak ini: "Dulu tetanggaku itu miskin, tapi kini malah sudah jadi artis dadakan. Begitu juga teman SD ku yang paling bego di kelas, kini bahkan sudah jadi Youtuber terkenal.
Sementar itu adikku yang dulu suka kuledekin malah udah jadi Selebgram terkenal, dan paling aneh nih, anak pamanku yang tinggal di pelosok Timur sana bahkan sudah jadi sosok "most wanted", karena ia jago banget nge-hack situs-situ pemerintah.
Begitu besanya desakan untuk menjadi selebriti, hingga orang yang tak mampu bersaing secara sehat, tepatnya karena mereka tak mampu menghargai tahapan-tahapan dalam hidupnya, seringkali lebih memilih menjadi teroris daripada menjadi altruis.
Mereka sungguh sadar bahwa kekerasan yang mereka lakukan akan mampu mengangkat dirinya di layar televisi, internet, bahkan di grup-grup diskusi media sosial lainnya.
Terorisme dipropagandakan oleh penganutnya di media sosial; tentu karena mereka tahu betapa banyak orang yang ingin mencari jalan pintas menjadi "selebriti" kelas dunia.
Bergabung dengan komplotan teroris adalah jalan pintas kendati sebetulnya tak pantas. Tak haran bila mereka rela melakukan bom bunuh diri hanya demi mendapat liputan media.
Celakanya, mereka tak tahu bahwa kepingan tubuhnya yang berpencar akibat bom tak akan pernah lagi bisa menikmati ketenarannya di layar televisi, apalagi di akun media sosialnya.
Mereka inilah yang bisa kita sebut sebagai "Barisan Pembela Bala".
Lusius Sinurat
Celakanya, mereka tak tahu bahwa kepingan tubuhnya yang berpencar akibat bom tak akan pernah lagi bisa menikmati ketenarannya di layar televisi, apalagi di akun media sosialnya.
Mereka inilah yang bisa kita sebut sebagai "Barisan Pembela Bala".
Lusius Sinurat
Posting Komentar