ilustrasi: Internet |
Dalam bisnis modern kita begitu terpesona dengan "kemasan". Barang apa saja akan menarik bila kemasannya menarik. Barang atau jasa apa saja yang dibungkus dengan menarik pasti akan laris manis. Kita semua tahu dan sadar akan fakta ini, tapi kita juga yang selalu membelinya.
Itu sebabnya mengapa Kacang Garuda dengan kemasan ekslusif yang dijual di supermarket jauh lebih diminati konsumen dibanding Kacang Kering asli Pangururan dengan kemasan seadanya. Bukan hanya barang. Jasa pun harus dikemas. Hingga akhirnya kita sering membayar lebih mahal konsultan asing yang lebih gagah, rapih dan sedikit agak parlente, dan jangan lupa karena mereka itu bule.
Begitu dahsyatnya efek "kemasan" dari tim kreatif bisnis ini, hingga kita semua jauh lebih menyukai kemasan dibanding isi, entah itu barang, entah itu jasa. Pokoknya, apa saja yang kita butuhkan haruslah yang terbaik, dan yang terbaik itu yang dikemas dengan menarik, termasuk juga kebutuhan akan pengajraan agama.
Lihatlah, bisnis begitu hebat mengkonversi seluruh rangkaian ritual keagamaan menjadi produk yang sangat menarik. Itu artinya, semakin banyak agama yang diakui secara resimi dalam sebuah negara, maka peluang "merayakan kemasan" akan semakin besar.
Di negara kita, misalnya, ada 6 (enam) agama yang diakui. Belum lagi dari agama-agama itu masih punya sub-sekte dengan ritual sedikit agak berbeda. Maka, andai saja masing-masing agama itu punya 2 Hari Raya, maka dalam setahun ada 12 "perayaan bisnis kemasan" atau sebanyak satu momentum per bulan.
Sebut saja, Hari Raya Idul Fitri (yang dirayakan sejak awal bulan Ramadhan), Natal, Imlek, Hari Raya Kurban, Waisak, Nyepi, dst. Nyatanya di hari-hari raya tersebut harga bahan pokok, makanan khas, pakaian gamis atau atribut-atribut yang mengikitunya akan melunjak selangit. Itu pun tergantung bagaimana barang itu dikemas.
Tak ketinggalan juga dengan para penyedia jasa, seperti hotel, tempat wisata, tansportasi, termasuk jasa para pengkotbah atau para imam yang dibutuhkan.
Lantas, apa dan siapakah yang paling dicari? Tentu saja barang atau jasa yang paling bagus kemasannya. Soal isi nomor sekian deh. Tak heran bila sosok pengkhutbah/ pengkotbah/ pewarta ajaran yang laku bukanlah pengkotbah konvensional.
Media bahkan tak pernah mau tahu apakah orang yang mereka undang sebagai "narasumber/tokoh agama" di media mereka itu seorang yang pernah belajar teologia/ilmu agama atau memahami ilmu tafsir kitab atau bukan.
Media lebih tertarik dengan pengkotbah yang hebat menyusun kata-kata, tampil berkelas dengan jas dan mobil mewah, dan aktif di media sosial. Itu saja. Titik.
Hal terpenting bagi pemilik bisnis media, juga para panitia-panita perayaan keagamaan tertentu untuk menjual "jasa pengkotbah" ustadz / pendeta / pastor yang memang layak jugal dan punya kemasan menarik. Soal keahlian dan teladan hidup itu nomor sekian. Bukan apa-apa, mereka juga memberi waktu butuh 3-10 menit untuk si pengkutbah berbicara.
Faktanya, para pemirsa di rumah dan penonton di studio juga lebih menyukai tipe pengkotbah kemasan ini. Bagi mereka, kata-kata dengan kekuatan spiritual tak ada artinya bila si pengkotbah punya tampang yang tak lauyak jual.
Sebab, televisi butuh rating; dan setiap pengkotbah yang diundang juga tak boleh menurunkan rating. That's all. Ya, harus begitu. Jangan heran, bila ustadz atau pendeta dengan tampilan high class jauh lebih berpeluang tampil di televisi dan dibayar mahal oleh media dibanding dengan rekan sejawat mereka yang sederhana dan hidupnya mengagumkan.
Media lebih tertarik dengan pengkotbah yang hebat menyusun kata-kata, tampil berkelas dengan jas dan mobil mewah, dan aktif di media sosial. Itu saja. Titik.
Hal terpenting bagi pemilik bisnis media, juga para panitia-panita perayaan keagamaan tertentu untuk menjual "jasa pengkotbah" ustadz / pendeta / pastor yang memang layak jugal dan punya kemasan menarik. Soal keahlian dan teladan hidup itu nomor sekian. Bukan apa-apa, mereka juga memberi waktu butuh 3-10 menit untuk si pengkutbah berbicara.
Faktanya, para pemirsa di rumah dan penonton di studio juga lebih menyukai tipe pengkotbah kemasan ini. Bagi mereka, kata-kata dengan kekuatan spiritual tak ada artinya bila si pengkotbah punya tampang yang tak lauyak jual.
Sebab, televisi butuh rating; dan setiap pengkotbah yang diundang juga tak boleh menurunkan rating. That's all. Ya, harus begitu. Jangan heran, bila ustadz atau pendeta dengan tampilan high class jauh lebih berpeluang tampil di televisi dan dibayar mahal oleh media dibanding dengan rekan sejawat mereka yang sederhana dan hidupnya mengagumkan.
Inilah yang menjadikan agama tak lebih dari sekedar pelengkap untuk acara lawakan, atau sebagai penutup dari sebuah acara talkshow dengan host terkenal.
Belakangan kita baru sadar bahwa agama tak boleh dipermainkan atau dipertontonkan sebagai acara kemasan menarik. Mengapa? Sebab, di sisi berbeda, para teroris dan kelompok radikal pun melakukan hal yang sama.
Mereka juga ikut-ikutan mengemas agama sebagai tontonan "menarik". Sayangnya tontonan yang mereka siarkan live di media online adalah tontonan horor dengan sekuil pembunuhan sesama manusia.
Seakan-akan para teroris yang mengatasnamakan agama itu ingin menyamai, bahkan melebihi apa mereka tonton di film-film laga yang menampilkan berbagai kekerasan di dalamnya. Bedanya, bila di film-film tarung kita menyaksikan adegan pembunuhan yang tak nyata, maka para teroris justru menampilkan pembunuhan dan pembantaian yang nyata dan kasat mata.
Jangan-jangan, kelompok radikalis berkedok agama ini justru "hadir sebagai anitesis atau malah kompetitor" bagi sesama pebisnis agama. Mereka seakan belajar sekaligus kompetitor bagi para pedagang barang/jasa khas agama mainstream. Who knows?
Saya teringat perkataan Averroes atau Ibnu Rushd saat belajar Filsafat Klasik pada semester awal kuliah di FF Unpar Bandung tahun 1998, "Jikau kau ingin menguasai orang bodoh bungkuslah segala sesuatu yang batil dengan kemasan agama."
Jangan-jangan kita semua adalah orang bodoh, tepatnya konsumen yang bodoh. Ya, karena kita lebih menyukai kemasan pengajaran agama daripada isi agama yang mestinya kita imani dan hidupi.
Belakangan kita baru sadar bahwa agama tak boleh dipermainkan atau dipertontonkan sebagai acara kemasan menarik. Mengapa? Sebab, di sisi berbeda, para teroris dan kelompok radikal pun melakukan hal yang sama.
Mereka juga ikut-ikutan mengemas agama sebagai tontonan "menarik". Sayangnya tontonan yang mereka siarkan live di media online adalah tontonan horor dengan sekuil pembunuhan sesama manusia.
Seakan-akan para teroris yang mengatasnamakan agama itu ingin menyamai, bahkan melebihi apa mereka tonton di film-film laga yang menampilkan berbagai kekerasan di dalamnya. Bedanya, bila di film-film tarung kita menyaksikan adegan pembunuhan yang tak nyata, maka para teroris justru menampilkan pembunuhan dan pembantaian yang nyata dan kasat mata.
Jangan-jangan, kelompok radikalis berkedok agama ini justru "hadir sebagai anitesis atau malah kompetitor" bagi sesama pebisnis agama. Mereka seakan belajar sekaligus kompetitor bagi para pedagang barang/jasa khas agama mainstream. Who knows?
Saya teringat perkataan Averroes atau Ibnu Rushd saat belajar Filsafat Klasik pada semester awal kuliah di FF Unpar Bandung tahun 1998, "Jikau kau ingin menguasai orang bodoh bungkuslah segala sesuatu yang batil dengan kemasan agama."
Jangan-jangan kita semua adalah orang bodoh, tepatnya konsumen yang bodoh. Ya, karena kita lebih menyukai kemasan pengajaran agama daripada isi agama yang mestinya kita imani dan hidupi.
Posting Komentar