Ada istilah kami anak asrama SMA Seminari Menengah Christus Sacerdos saat SMA dulu. Ketika orang bertanya di mana kami tinggal, kami selalu menjawab dengan bangga,"DI PENJARA SUCI,Gedung Putih."
Anehnya, kebanyakan orang di luar, terutama anak-anak Budi Mulia, Bintang Timur, bahkan anak-anak SMAN 4 Marihat kebanyakan sudah tahu apa yang kami maksud.
Kami menyebut asrama Seminari sebagai penjara karena memang kami tak sembarang keluar-masuk asrama. Hanya Selasa dan Sabut sore sekira jam 4 sore kami boleh keluar dekat asrama. Itu juga tak lebih dari 1 jam ada. Karena sesudahnya kami harus belajar malam.
Waktu bebas lain adalah saat hari minggu, tepatnya setelah Misa dan sarapan. Saat bebas ini biasanya dipake untuk menerima kunjungan keluarga (bagi yang dikunjungi) atau sekedar jalan-jalan ke kota. Jangan lupa, waktu bebas ini hanya berlaku sampai pukul 12 siang.
Itu makanya kami menyebut seminari sebagai penjara. Bukan sebagai penjara sungguhan yang mengurung kami karena berbuat kriminal, atau dikondisikan sebagai pelaku kriminal. Sebaliknya, seminari kami sebut sebagai penjara justru karena kami "dikarantina" untuk tujuan baik. Ya, agar kami disiplin dan sungguh kuat menghadapi kejamnya dunia.
Sementara kata suci mengacu pada seluruh jadwal kami di dalam asrama yang dibalut oleh berbagai aktivitas rohani. Belajar, berdoa, bekerja, bermain, berolahraga, berkomunitas, dst adalah nilai-nilai praksis yang kami hidupi di dalam asrama Seminari.
Jujur saja, selama di "penjara" ini, banyak juga dari kami yang tak menyadari bahwa kami sedang diformat, dibentuk, atau dipersiapkan secara matang untuk menghadapi kerasnya persaingan di dunia nyata.
Baru setelahnya, biasanya setelah lulus dari seminari, atau (di)keluar(kan) dari seminari (kami menyebutnya ekkes), kami sadar betapa pola pendidikan Seminari itu sangat membantu kami saat kuliah dan bekerja.
Intinya, bukan penjara-nya per se yang penting. Sebaliknya, bagaimana seseorang memaknai kehidupan penjara sebagai jembatan pembentukan diri yang jauh lebih penting.
Maka, jangan takut dipenjara, terutama ketika Anda justru menjadi korban dari fitnah, korban dari sistem jahat yang dikoordinir oleh mereka yang suka status quo dan tak suka melihat orang baik, jujur dan tulus bagai sesamanya.
Nelson Mandel, Soekarno, Fidel Castro, dan banyak pemimpin negara yang di masa tertentu harus menjalani kehidupan di penjara. Tetapi pada akhirnya kita tahu, mereka akhrinya menjadi presiden dan bukan presiden biasa.
Kini, Ahok dipenjara oleh musuh-musuh politiknya. Sejauh ini Ahok juga tak putus asa, apalagi mulai merancang kekuatan untuk melawan musuh-musuhnya.
Tidak, Ahok justru memaknai kesendirannya sebagai proses formasi, proses pembentukan dirinya menjadi lebih baik. Penjara adalah wahana melihat kedalam dirinya untuk selanjutnya semakin mampu melihat apa saja di luar sana secara lebih jernih.
Sekali lagi, hidup dalam penjara bukanlah tangisan pilu pertanda semakin dekatnya kematian. Penjara, khususnya bagi mereka yang menjadi korban ketidakadilan, adalah sasana pertarungan antara kehendak diri dan kemurnian hati.
Terimakasih Ahok.
Anda sudah memberi kami banyak pelajaran!
Posting Komentar