Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani bersama Letjen Sintong Panjaitan |
Ketika ada peristiwa ganjil di negeri ini, peran intelijen hampir pasti disangkutpautkan. Itu karena oleh khalayak ramai, seorang intelijen sering dipandang sebagai dirigen kor yang terlihat sebuah aksi.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani, atau akrab dipanggil LB Moerdani atau Benny, mantan Panglima ABRI di era Soeharto, "Gentleman, please do not forget this phrase. An intelligence officer is a faceless hero."
Menurut Benny, seorang intelijen (telik sandi) sejatinya harus mampu bekerja cermat berdiri dibelakang layar, tanpa menampilkan diri. Seorang intelijen oleh karenanya harus mampu membaca suatu tren perkembangan sebelum peristiwa benar-benar terjadi.
"Tugas seorang intelijen adalah menafsirkan dan meramal rangkaian kejadian," tegas Benny dalam sebuah kesempatn. Kendati demikian, penafsiran dan ramalan seorang intelijen juga tak dapat dihindarkan dari unsur bias dan kesalahan.
Begitulah Benny menjadi anak kesayangan Soekarno dan Soeharto. Benny adalah sosok intelijen terbaik di negeri ini. Bahkan hingga saat ini, Indonesia belum memiliki intelijen sehebat Benny.
Kita tahun Benny selalu melakukan operasi apapun dengan sandi yang tak mudah dibaca lawan, bahkan oleh pemerintah atau media sekalipun. Ia sungguh menjadi sosok a faceless hero. Jangankan presiden, ketika mendapat misi khusus, ia bahkan tak pernah pamit kepada Hartini, istri yang pernah dipacarinya selama 8 tahun. Benny tak pernah tidak cerita kemana ia akan pergi, kecuali hanya menyebut akan keluar kota.
Bila sudah 'menghilang', Benny tak kembali ke rumah berbulan-bulan; dan bila sudah kembali, Benny tak pernah menceritakan penugasannya kepada sang istri.
Hal ini tak lantas berarti kalau Benny tak mencintai Hartini. Justru, Benny sangat menghargai istrinya itu. Benny selalu membawa bekal makanan yang dibuat oleh Hartini. Makanan tersebut dimasukkan ke dalam rantang yang selalu dibawa Benny bila berangkat dari rumah.
Ketika menghadiri jamuan makan, Benny akan memakan bekal makanan yang dibuat istrinya terlebih dahulu; dan siapapun tak boleh memotretnya saat sedang makan.
Tentu saja kita masih punya intelijen. Hanya saja para intelijen saat ini tak punya kemampuan seperti Benny. Para intelijen saat ini justru tak kuasa diam di media sosial, pun tak kuat menyimpan rahasia.
Mereka bukan lagi - seperti yang dikatakan Benny, sosok a faceless. Itu karena intel-intel saat ini justru sedang berada di pusaran kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bahkan tak jarang mereka adalah para wakil yang ingin mengkudeta atasannya.
Sebaliknya, Benny telah mendatangi semua palagan penting di negeri ini. Ia telah berperang sejak usia 13 tahun dan berada di garis terdepan penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta (1958). Ia bahkan pernah menyamar sebagai tukang karcis Garuda di Bangkok.
Rekam jejak Benny Moerdani semakin bersinar ketika ia sukses mempimpin perang gerilya di Irian Barat. Ia pun didaulat menjadi ikon pembebasan Irian Barat (1962), ia kembali mendapatkan tugas berat.
Selanjutnya, dalam Operasi Ganyang Malaysia (1965), Panglima TNI kala itu, Jenderal Ahmad Yani mempercayakan Benny Moerdani untuk mengorganisasi cara menangkal aksi penyusupan pasukan Inggris dalam konfrontasi Malaysia.
Kala itu, hubungan Indonesia dan Malaysia memang semakin memanas antara 1961-1966. Wilayah perbatasan Malaysia itu dianggap paling mematikan. Kondisi di perbatasan Malaysia semakin menjadi-jadi.
Konfrontasi Indonesia dan Malaysia ini menyebabkan saling serang pasukan bersenjata di perbatasan Malaysia. Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahcmad Yani pun segera menugaskan Benny Moerdani ke Kalimantan Utara.
Penyusupan meraka bertujuan mengamati rute-rute penyerbuan yang bisa digunakan pasukan induk. Kemudian, Benny Moerdani pun bisa unjuk gigi menunjukan keperkasaannya. Pasukan Benny pun berhasil menaklukan pasukan SAS Inggris, di Kalimantan Timur.
Kala itu, ada empat musuh yang berhadapan dengan mereka. Satu musuh ditembak mati, kemudian dua orang lagi melarikan diri. Sementara itu, satu orang musuh mereka tawan sebagai jaminan.
Keberhasilan Benny Moerdani dalam konfrontasi Dwikora ini pun melegenda, dan menjadi sejarah.
Di bawah Soeharto, Benny bahkan digelari tokoh kontroversial. Dia tampil sebagai jenderal yang garang dalam Peristiwa Woyla (1981), Tragedi Tanjung Priok (1984), dan Operasi “Petrus” (1982), tapi juga terampil di dunia diplomasi dan kepengacaraan.
Jenderal Leonardus Benyamin Benny Moerdani adalah anggota intelijen yang dimiliki oleh Indonesia. Ia juga pernah menjabat sebagai menteri Pertahanan atau Panglima ABRI (TNI). Kemampuan Benny Moerdani tak diragukan lagi.
Dia pernah menjadi diplomat di Korea dan memenangkan Indonesia “merebut” harta yang dikorupsi oleh pejabat Pertamina di pengadilan Singapura. Saat itu Benny dilukiskan sebagai diplomat yang “sangat cerdas dan memukau”.
Saat Benny Mengusik Bisnis Anak Soeharto
Benny memiliki karier militer yang gemilang hingga mencapai posisi puncak di ABRI kala itu. Ia diangkat menjadi Panglima Angatan Bersenjata Republik Indonesia (Panglima ABRI) saat zaman Orde Baru oleh Presiden Soeharto.
Kala itu hubungan Benny dan Soeharto bisa dikatakan sangat erat. Christianto Wibisono, mantan jurnalis dan pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia, bahkan sempat menyebut Benny Moerdani itu anak emas Soeharto.
Namun, hubungan harmonis Benny Moerdani dan Soeharto harus retak. Dilansir dari buku berjudul Benny Moerdani yang Belum Terungkap (2018), Soeharto dikabarkan mencopot Benny dari jabatannya sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Publik merasa ada keganjilan dalam pencopotan yang serba mendadak itu. Hubungan dua tokoh itu merenggang karena sikap Benny yang mengkritik Soeharto. Benny Moerdani mengingatkan Soeharto mengenai bisnis anak-anak keluarga Cendana.
Soeharto marah sekali karena anak-anaknya dipermasalahkan Benny. Mantan dokter tentara dalam Operasi Mandala, Brigadir Jenderal Purnawirawan Ben Mboi sempat diceritakan oleh Benny mengenai kejadian munculnya kritikan tersebut.
Saat itu, Benny Moerdani tengah menemani Soeharto bermain biliar di kediaman Cendana.
Benny memberanikan diri mengutarakan pendapatnya agar Soeharto 'menjauhkan' anak-anaknya dari kekuasaan.
"Ketika saya angkat masalah anak-anaknya itu, Pak Harto berhenti bermain, masuk kamar tidur, dan meninggalkan saya di kamar biliar," ujar Benny kepada Ben.
Sebelum kejadian itu, rupanya Benny sempat menolak campur tangan anak Soeharto dalam urusan pengadaan alat utama sistem senjata ABRI. Hal tersebut diungkapkan oleh mantan asisten Benny yang enggan disebut namanya.
Keresahan Benny terhadap bisnis anak Soeharto juga dirasakan oleh Ali Moertopo. Menteri Penerangan Kabinet Pembangunan III itu berpesan kepada Jusuf agar berbicara kepada Benny tentang anak-anak Soeharto, agar mereka ditertibkan.
Benny tak main-main. Ia bahkan sempat menahan paspor, putra Soeharto, Sigit Harjojudanto yang ingin pergi ke luar negeri untuk berjudi.
Namun, di hari-hari terakhir hidupnya sulit dibayangkan: jenderal yang tangkas dan trengginas lunglai terkulai di kursi roda. Ia memang selapis babak dalam sejarah kontemporer Indonesia, tapi babak itu tak pernah lengkap, tak pernah jangkap.
Kedua Jenderal ini akhirnya "berdamai" di rumah sakit, menjelang kematian Benny. Saat Benny Meordani terbaring di kasur perawatan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, Soeharto menjenguknya.
Soeharto mengucapkan kata-kata yang nyaris tak terdengar sembari matanya berkaca-kaca,
"Kowe pancen sing bener, Ben. Nek aku manut nasihatmu, ora koyo ngene (Kamu memang yang benar, Ben. Seandainya aku menuruti nasihatmu, tak akan seperti ini)," kata Soeharto seperti yang ditirukan oleh asisten Benny yang berada di ruang perawatan.
Dua hari setelah kunjungan tersebut, Benny Moerdani menghembuskan napas terakhirnya.
* Bacaan: "Benny Moerdani: yang Belum Terungkap"
Benny memiliki karier militer yang gemilang hingga mencapai posisi puncak di ABRI kala itu. Ia diangkat menjadi Panglima Angatan Bersenjata Republik Indonesia (Panglima ABRI) saat zaman Orde Baru oleh Presiden Soeharto.
Kala itu hubungan Benny dan Soeharto bisa dikatakan sangat erat. Christianto Wibisono, mantan jurnalis dan pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia, bahkan sempat menyebut Benny Moerdani itu anak emas Soeharto.
Namun, hubungan harmonis Benny Moerdani dan Soeharto harus retak. Dilansir dari buku berjudul Benny Moerdani yang Belum Terungkap (2018), Soeharto dikabarkan mencopot Benny dari jabatannya sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Publik merasa ada keganjilan dalam pencopotan yang serba mendadak itu. Hubungan dua tokoh itu merenggang karena sikap Benny yang mengkritik Soeharto. Benny Moerdani mengingatkan Soeharto mengenai bisnis anak-anak keluarga Cendana.
Soeharto marah sekali karena anak-anaknya dipermasalahkan Benny. Mantan dokter tentara dalam Operasi Mandala, Brigadir Jenderal Purnawirawan Ben Mboi sempat diceritakan oleh Benny mengenai kejadian munculnya kritikan tersebut.
Saat itu, Benny Moerdani tengah menemani Soeharto bermain biliar di kediaman Cendana.
Benny memberanikan diri mengutarakan pendapatnya agar Soeharto 'menjauhkan' anak-anaknya dari kekuasaan.
"Ketika saya angkat masalah anak-anaknya itu, Pak Harto berhenti bermain, masuk kamar tidur, dan meninggalkan saya di kamar biliar," ujar Benny kepada Ben.
Sebelum kejadian itu, rupanya Benny sempat menolak campur tangan anak Soeharto dalam urusan pengadaan alat utama sistem senjata ABRI. Hal tersebut diungkapkan oleh mantan asisten Benny yang enggan disebut namanya.
Keresahan Benny terhadap bisnis anak Soeharto juga dirasakan oleh Ali Moertopo. Menteri Penerangan Kabinet Pembangunan III itu berpesan kepada Jusuf agar berbicara kepada Benny tentang anak-anak Soeharto, agar mereka ditertibkan.
Benny tak main-main. Ia bahkan sempat menahan paspor, putra Soeharto, Sigit Harjojudanto yang ingin pergi ke luar negeri untuk berjudi.
Namun, di hari-hari terakhir hidupnya sulit dibayangkan: jenderal yang tangkas dan trengginas lunglai terkulai di kursi roda. Ia memang selapis babak dalam sejarah kontemporer Indonesia, tapi babak itu tak pernah lengkap, tak pernah jangkap.
Kedua Jenderal ini akhirnya "berdamai" di rumah sakit, menjelang kematian Benny. Saat Benny Meordani terbaring di kasur perawatan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, Soeharto menjenguknya.
Soeharto mengucapkan kata-kata yang nyaris tak terdengar sembari matanya berkaca-kaca,
"Kowe pancen sing bener, Ben. Nek aku manut nasihatmu, ora koyo ngene (Kamu memang yang benar, Ben. Seandainya aku menuruti nasihatmu, tak akan seperti ini)," kata Soeharto seperti yang ditirukan oleh asisten Benny yang berada di ruang perawatan.
Dua hari setelah kunjungan tersebut, Benny Moerdani menghembuskan napas terakhirnya.
* Bacaan: "Benny Moerdani: yang Belum Terungkap"
Posting Komentar