Petunjuk arah hanyalah salah satu simbol-simbol dalam tatanan bermasyarakat. Dan hampir bisa dipastikan bahwa kebudayaan secara umum tak dapat dipisahkan dari simbol-simbol kultural yang melekat padanya.
Tanpa tanda dan simbol-simbol, baik verbal maupun verbal, maka sebuah kebudayaan akan kehilangan kekhasannya, bahkan akan sirna oleh serangan budaya luar yang memasukinya.
Ini ibarat di jalan raya. Bila tanda-tanda lalulintas tak dipasang dengan baik, begitu juga bila pengguna jalan tak memahami dan tak menuruti rambu-rambu tersebut, maka jalanan akan kacau balau.
Macet, kecelakaan dan kekerasan lain di jalanan seringkali terjadi karena ketiadaan atau ketidakpahaman masyarakat akan simbol-simbol yangg tersedia.
Simbol-simbol sungguh sangat sentral dalam kaitannya dengan tata sosial relasional antar masyarakat.
Tapi sayangnya, seperti para pengguna jalan di kota-kota penuh semprawut seringkali tak memahami dan menghidupi atau menaatinya.
Akhrinya, polusi suara lewat bisingnya suara klekson kendaraan, kecelakaan akibat kecerobohan para pengendara, bahkan kemacetan akibat kesemrawutan kendaraan umum pun tak terelakkan.
Begitu pentingnya sebuah simbol, juga rambu-rambu atau tanda-tanda lain yang dibentangkan di sekitar kita. Tetapi, simbol-simbol itu hanya akan bermakna bila manusia yang menganutnya harus menaatinya sebagaimana mereka telah sepakat membuatnya.
Benar bahwa tak ada jaminan bahwa taat aturan pasti selamat. Di jalan raya misalnya, ketaaan pada aturan lalulintas tak bisa menjamin secara pasti bahwa seseorang akan terhindari dari kecelakaan.
Tapi situasinya akan jauh lebih parah bila tak ada aturan simbolik di jalan raya. Tensi emosi para pengguna jalan yang egois secara otomatis akan meledak bak bom hingga mengganggu kelancaran arus lalulintas.
Lusius Sinurat
Posting Komentar