Ilustrasi: Internet |
Bukan teori atau definisi yang ia sodorkan, melainkan pengalaman dan tantangan agar orang mulai berpikir, menyadari diri, dan kemudian mengupayakan perubahan dalam sikap dan perilakunya.
Yesus tidak menjelaskan secara gamblang apa yang dimaksud dengan Kerajaan Allah. Ia tidak menghadirkan definisi mati tentangnya. Yesus menyatakan makna Kerajaan Allah dalam bahasa simbolis, yakni melalui kisah perumpamaan, persamaan, juga metafor.
Sejumlah pertanyaan muncul berkaitan dengan penggunaan kisah perumpamaan dalam pewartaan Yesus ini: (1) Apakah kisah perumpamaan ini otentik berasal dari Yesus sendiri? (2) Mengapa Yesus menggunakan perumpamaan dan bukan lewat jenis sastra lain? (3) Mengapa Kerajaan Allah itu hanya bisa diumpamakan? (4) Apa maksud sesungguhnya dari Kerajaan Allah?
Mari kita bahas satu per satu.
John Fuellenbach dalam bukunya "The Language of the Kingdom: Parables in the teaching of Jesus (1995) menegaskan bahwa perumpaan itu bukan khas Yesus, tida secara otentik berasal dari Yesus.
Taradisi berturur dengan menggunakan "perumpamaan" justru sudah sangat biasa dipakai dalam di jaman Romawi, Yunani, bahkan juga dalam tradisi masyarakat Israel. Bahkan dalam tradisi Israel, para Rabi kerap juga menggunakan perumpamaan untuk menyampaikan pemahamannya atas hukum dan peraturan.
Tapi kemudian, kisah perumpamaan ini menjadi khas Yesus. Perumpamaan jada gaya bertutur Yesus. Kenyataannya perumpamaan justru menjadi sarana dan metode pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah.
Tentang kisah-kisah perumpamaan yang dipakai Yesus, Eamonn Bredin (ibid) menegaskan: "Kita dihubungkan dengan seorang guru yang luar biasa meyakinkan dan juga menantang bahwa apa yang disebut kerajaan Allah itu ada dan aktif dalam hidup manusia. Ia adalah guru, yang begitu jernih dan tajam, berhasil mengabadikan pesan-pesannya dalam karya sastra yang tak terlupakan dan merangsang orang untuk berpikir, yaitu kisah perumpamaan."
Menurut Bredin, jenis sastra ini menggabungkan hal yang bertentangan dan paradoks, ironi dan humor, persamaan dan ketidaksamaan, pemahaman yang luas tapi juga langkah-langkah konkret dalam kehidupan keseharian.
Dalam pengajarannya, Yesus lebih sering menggunakan perumpamaan daripada menggunakan bentuk retoris; dan dengan perumpamaan itu pulalah kita bertautan dengan tradisi dasar kehidupan Yesus dari Nazaret itu.
Perumpamaan yang disampaikan Yesus itu bukan semata-mata teori/definisi tentang apa yang disebut Kerajaan Allah.
Lebih dari itu, Yesus justru menyampaikan sebuah visi tentang kerajaan yang mengundang orang untuk segera bertindak, dalam berpartisipasi dalam dunia.
Lebih dari itu, Yesus justru menyampaikan sebuah visi tentang kerajaan yang mengundang orang untuk segera bertindak, dalam berpartisipasi dalam dunia.
Hanya dengan memahami perumpamaan itulah setiapa orang bisa sampai pada latar belakang pemikiran sebagaimana Yesus mengalami kerajaan Allah itu: "It is only by entering into the parables that the listener will be able ro gain acces to the same horizon of meaning within which Jesus experienced the ultimate ‘referent’ sybmolized by the Kingdom of God."
(a) Apa itu Perumpamaan?
Ada banyak pendapat tentang apa yang dimaksud dengan perumpamaan. Fuellenbach menyebut perumpamaan sebagai "an earthly story with a heavenly meaning atau sebuah kisah duniawi yang mengandung makna ilahi.
Benar saja, dalam perumpamaannya Yesus memang selalu menggunakan kisah-kisah duniawi untuk membuka sebuah kenyataan yang mengatasi kehidupan manusia. Kisah-kisah duniawi itu dituturkan bukan untuk mengalihkan perhatian kita dari kehidupan nyata kita.
Perumpamaan justru Ia jadikan sebagai media kita untuk menyingkapkan sejauh mana kita memahami maknanya, yakni tentang hakikat dasar Kerajaan Allah itu sendiri (yang juga berkaitan dengan hidup kita).
(b) Perumpamaan dan Perbandingan
Kata perumpamaan sendiri berati menempatkan sesuatu secara berdampingan atau mensejajarkan. Dalam gaya bahasa itu, sesuatu dikatakan seperti sesuatu yang lain. Contoh: my love is like a red, a red rose.
Dalam kiasan-kiasan itu juga terdapat sesuatu yang lain: you are my sunshine, my only sunhine. Sesuatu yang lain tadi mungkin saja tidak sebanding untuk disandingkan; namun kedua hal itu justru disandingkan dalam perumpamaan, tepatnya sebagai gerbang pemahaman bagi pendengarnya. Pada gilirannya, perumpamaan pun menghadirkan sebuah penegasan. Penegasan yang melebihi apa yang tak terkatakan, melebihi keterbatasan analisis kata-kata, yang membuka ruang pada imajinasi.
(c) Perumpaan sebagai Kisah
Setiap perumpamaan adalah sebuah kisah menggiring kita pada sebuah pembelajaran. Akibatnya kisah perumpamaan selalu mengandung dua isi, yakni kisah dan pembelajaran. Sebab tujuan dari perumpamaan tadi adalah untuk mengubah pemahaman pendengarnya, mengarahkannya kepada keputusan, hingga mendorongnya untuk melakukannya.
Pembelajaran itu seringkali berkaitan dengan masalah religiusitas atau juga moral. Perupamaan yang disampaikan oleh Yesus selalu: mengkisahkan sesuatu (narative), mempunyai dua level arti yakni topical dan figurative, isinya selalu berusaha mengarahkan, mengajak (rhetorical) dan seringkali berkaitan dengan Allah dan manusia (religious, ethical).
Ketika berhadapan dengan sebuah kisah perumpamaan, baiklah kita mengetahui latar belakang disampaikannya kisah perumpamaan itu. Biasanya sebuah perumpamaan disampaikan kepada kelompok orang tertentu, pada sebuah kesempatan tertentu (ada aspek sosial, kultural dan historisnya).
(d) Perumpamaan menghantar kita pada sebuah keyakinan
Terdapat 20 Kisah Perumpamaan dalam Kitab Suci, khususunya dalam tiga Injil Sinoptik dan semuanya dimulai dengan sebuah narasai kehidupan keseharian. Perumpamaan Yesus selalu dimulai dengan hal-hal yang biasa, dan sangat dekat dengan para pendengarnya.
Dalam semua perumpamaan itu selalu dimulai dengan pertanyaan: What do you think? What among you? How? Di titik inilah kisah perumpamaan menuntut jawaban dari para pendengarnya dan mengajak orang untuk berpendapat. Ya, perumpamaan-perumpamaan itu bertujuan mengajak para pendengarnya untuk menjadi bagian dalam kisah yang disampaikan.
Lewat perumpamaan kita digiring masuk kedalam diri kita sendiri untuk menemukan orang-orang yang sungguh kita kenal di sana. Tentu saja karena itu adalah hidup kita sendiri. Itu memang diri kita sendiri. Demikianlah perumpamaan-perumpamaan itu kerap membuka/ menghantarkan kita pada sebuah keyakinan akan sebuah visi baru. Sebuh visi yang tak terpikirkan sebelumnya, mengejutkan.
Perumpamaan-perumpaan pun sering kali menyibakan anggapan-anggapan salah yang tersembunyi. Kisah-kisah dalam perumpamaan juga kerap menghindarkan orang dari reaksi-reaksi instingtif yang hadir ketika orang mendengarkan kisah-kisah itu, seperti rasa marah, rasa jengkel atau dongkol.
(a) Apa itu Perumpamaan?
Ada banyak pendapat tentang apa yang dimaksud dengan perumpamaan. Fuellenbach menyebut perumpamaan sebagai "an earthly story with a heavenly meaning atau sebuah kisah duniawi yang mengandung makna ilahi.
Benar saja, dalam perumpamaannya Yesus memang selalu menggunakan kisah-kisah duniawi untuk membuka sebuah kenyataan yang mengatasi kehidupan manusia. Kisah-kisah duniawi itu dituturkan bukan untuk mengalihkan perhatian kita dari kehidupan nyata kita.
Perumpamaan justru Ia jadikan sebagai media kita untuk menyingkapkan sejauh mana kita memahami maknanya, yakni tentang hakikat dasar Kerajaan Allah itu sendiri (yang juga berkaitan dengan hidup kita).
(b) Perumpamaan dan Perbandingan
Kata perumpamaan sendiri berati menempatkan sesuatu secara berdampingan atau mensejajarkan. Dalam gaya bahasa itu, sesuatu dikatakan seperti sesuatu yang lain. Contoh: my love is like a red, a red rose.
Dalam kiasan-kiasan itu juga terdapat sesuatu yang lain: you are my sunshine, my only sunhine. Sesuatu yang lain tadi mungkin saja tidak sebanding untuk disandingkan; namun kedua hal itu justru disandingkan dalam perumpamaan, tepatnya sebagai gerbang pemahaman bagi pendengarnya. Pada gilirannya, perumpamaan pun menghadirkan sebuah penegasan. Penegasan yang melebihi apa yang tak terkatakan, melebihi keterbatasan analisis kata-kata, yang membuka ruang pada imajinasi.
(c) Perumpaan sebagai Kisah
Setiap perumpamaan adalah sebuah kisah menggiring kita pada sebuah pembelajaran. Akibatnya kisah perumpamaan selalu mengandung dua isi, yakni kisah dan pembelajaran. Sebab tujuan dari perumpamaan tadi adalah untuk mengubah pemahaman pendengarnya, mengarahkannya kepada keputusan, hingga mendorongnya untuk melakukannya.
Pembelajaran itu seringkali berkaitan dengan masalah religiusitas atau juga moral. Perupamaan yang disampaikan oleh Yesus selalu: mengkisahkan sesuatu (narative), mempunyai dua level arti yakni topical dan figurative, isinya selalu berusaha mengarahkan, mengajak (rhetorical) dan seringkali berkaitan dengan Allah dan manusia (religious, ethical).
Ketika berhadapan dengan sebuah kisah perumpamaan, baiklah kita mengetahui latar belakang disampaikannya kisah perumpamaan itu. Biasanya sebuah perumpamaan disampaikan kepada kelompok orang tertentu, pada sebuah kesempatan tertentu (ada aspek sosial, kultural dan historisnya).
(d) Perumpamaan menghantar kita pada sebuah keyakinan
Terdapat 20 Kisah Perumpamaan dalam Kitab Suci, khususunya dalam tiga Injil Sinoptik dan semuanya dimulai dengan sebuah narasai kehidupan keseharian. Perumpamaan Yesus selalu dimulai dengan hal-hal yang biasa, dan sangat dekat dengan para pendengarnya.
Dalam semua perumpamaan itu selalu dimulai dengan pertanyaan: What do you think? What among you? How? Di titik inilah kisah perumpamaan menuntut jawaban dari para pendengarnya dan mengajak orang untuk berpendapat. Ya, perumpamaan-perumpamaan itu bertujuan mengajak para pendengarnya untuk menjadi bagian dalam kisah yang disampaikan.
Lewat perumpamaan kita digiring masuk kedalam diri kita sendiri untuk menemukan orang-orang yang sungguh kita kenal di sana. Tentu saja karena itu adalah hidup kita sendiri. Itu memang diri kita sendiri. Demikianlah perumpamaan-perumpamaan itu kerap membuka/ menghantarkan kita pada sebuah keyakinan akan sebuah visi baru. Sebuh visi yang tak terpikirkan sebelumnya, mengejutkan.
Perumpamaan-perumpaan pun sering kali menyibakan anggapan-anggapan salah yang tersembunyi. Kisah-kisah dalam perumpamaan juga kerap menghindarkan orang dari reaksi-reaksi instingtif yang hadir ketika orang mendengarkan kisah-kisah itu, seperti rasa marah, rasa jengkel atau dongkol.
Perumpamaan yang disampaikan Yesus sungguh menyadari dan memperhatikan tabiat pendengarnya. Beberapa contoh hadir di sini:
(a) Perumpamaan tentang orang-orang upahan di kebun anggur (Mat 20:1-16)
Apa yang disampaikan tampak sebagai ketidakadilan dan mungkin penghinaan.
Ini menjungkirbalikan asumsi-asumsi kita dan membuat orang jengkel. Di sini Yesus bertanya: Iri hatikah engkau? Tentu ya.
Kisah perumpamaan itu tidak hanya berisi dakwaan-dakwaan, tapi lebih dari itu berisi undangan. Undangan untuk menggali dan mencari sesuatu yang lebih dalam.
Orang kerap menilai dan menganggap diri lebih penting dari yang lain. Orang kerap cerdik untuk menempatkan orang. Tapi di sini hadir kemurahan hati Yesus, ia mau menyamakan segalanya. Itu menyentuh kecenderungan orang untuk berkompetisi, melulu mengharap hak.
(b) Perumpamaan tentang Anak yang hilang (Luk 15:11-32)
Kenapa si sulung merasa tidak bahagia? Itu karena ia tidak bisa menyebut adiknya sebagai saudara, malah menyebutkan sebagai anak bapa?
Ketidak gembiraan itu muncul ketika dia tidak bisa lagi menerima adiknya sebagai saudaranya. Sejauh si sulung mau menerima lagi adiknya, dan juga menerima tindakan ayahnya, ia akan tergabung dalam perayaan. Kesalahan si sulung ada pada sikapnya yang hitung-hitungan sama saudaranya sendiri, padahal jauh lebih baik jika ia iktu bergembiara atas kedatangan saudaranya.
Di balik perumpamaan ini, hadir ajakan bagi para murid Yesus, bahwa seperti Bapa yang bermurah hati, mereka pun diundang untuk itu murah hati.
(a) Perumpamaan tentang orang-orang upahan di kebun anggur (Mat 20:1-16)
Apa yang disampaikan tampak sebagai ketidakadilan dan mungkin penghinaan.
Ini menjungkirbalikan asumsi-asumsi kita dan membuat orang jengkel. Di sini Yesus bertanya: Iri hatikah engkau? Tentu ya.
Kisah perumpamaan itu tidak hanya berisi dakwaan-dakwaan, tapi lebih dari itu berisi undangan. Undangan untuk menggali dan mencari sesuatu yang lebih dalam.
Orang kerap menilai dan menganggap diri lebih penting dari yang lain. Orang kerap cerdik untuk menempatkan orang. Tapi di sini hadir kemurahan hati Yesus, ia mau menyamakan segalanya. Itu menyentuh kecenderungan orang untuk berkompetisi, melulu mengharap hak.
(b) Perumpamaan tentang Anak yang hilang (Luk 15:11-32)
Kenapa si sulung merasa tidak bahagia? Itu karena ia tidak bisa menyebut adiknya sebagai saudara, malah menyebutkan sebagai anak bapa?
Ketidak gembiraan itu muncul ketika dia tidak bisa lagi menerima adiknya sebagai saudaranya. Sejauh si sulung mau menerima lagi adiknya, dan juga menerima tindakan ayahnya, ia akan tergabung dalam perayaan. Kesalahan si sulung ada pada sikapnya yang hitung-hitungan sama saudaranya sendiri, padahal jauh lebih baik jika ia iktu bergembiara atas kedatangan saudaranya.
Di balik perumpamaan ini, hadir ajakan bagi para murid Yesus, bahwa seperti Bapa yang bermurah hati, mereka pun diundang untuk itu murah hati.
(c) Perumpamaan tentang orang samaria yang baik hati (Luk 10:29-37)
Perumpamaan ini ditujukan untuk kaum Yahudi. Dalam tatanan hidup kemasyarakatan mereka, orang Yahudi menempati posisi terpandang. Ini sangat berbeda dengan posisi Orang Samaria yang tak lebih seperti sampah yang terbuang.
Bagi orang Yahudi, berhubungan dengan orang Samaria adalah sesuatu yang najis. Tapi, melalui perumpamaan ini, Yesus bertanya pada para pendengarnya yang Yahudi ini, bagaimana jika suatu kali Anda mengalami nasib sial? Anda terpuruk, tiada orang yang menolong, bahkan orang yang anda anggap satu golongan pun tidak?
Tapi kemudian, ada orang yang menolong anda, dan itu orang yang anda anggap sampah. Siapakah sebenarnya yang menjadi saudara Anda?
Tampak, perumpamaan-perumpamaan itu menaruh perhatian akan tingkah laku para pendengarnya. Tujuan utama hadirnya adalah untuk merangsang adanya perubahan sikap pada para penderngarnya.
Dalam kasus orang Samaria yang baik hati, berkaitan dengan diskriminasi, rasisme, dan penghakiman, di hadapakan Allah kita semua sama. Semua orang saudara.
Tampak jelas bahwa Yesus tidak menggunakan perumpamaan untuk menyampaikan keutamaan-keutamaan keagamaaan, atau saat berdebat tentang masalah agama. Lebih dari itu, ia hendak menyadakarkan orang dan kemudian mendorongnya untuk melalukan perubahan diri.
(4(4) Apa maksud sesungguhnya dari Kerajaan Allah?
Dengan perumpamaan Yesus mengajak orang untuk menemukan jalannya sendiri dalam partisipasinya dalam kerajaan Allah, melalui tata cara dan kehidupan nyata mereka masing-masing.
Sebagainya dibentangkan oleh Fuellenbach, frasa Kerajaan Allah yang menjadi pusat pewartaan Yesus, tidak mau tidak berhubungan dengan pemahaman dan pengalaman religius orang-orang di jamannya.
Allah Perjanjian Lama dialami sebagai Alah yang baik, mecintai, dan mengampuni. Maka melalui perumpamaan-perumpamaan itu, Yesus hendak meyadarkan lagi orang akan hal itu.
Yesus mewartakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat, sudah waktunya membawa keselamatan kepada manusia: menghadirkan keadilan dan damai (terutama bagi mereka yang miskin dan tersingkirkan dalam masyarakat).
Tujuan dari Kerajaan Allah, adalah menghimpun manusi di dalam satu keluarga, tiada lagi pembedaan dan diskriminasi.
Hadirnya kisah-kisah perumpamaan bisa menyulut beragam interpretasi, dan interpretasi itu sendiri tergantung pada pendengarnya.
Sebut saja tentang pengertaian Kerajaan Allah yang dituturkan Yesus lewat perumpamaan-perumpamaanNya tidak secara gamblang dijelaskan.
Di titik ini perumpaaan selalu menuntut interpretasi dari pendengarNya. Dengan demikian apakah jenis sastra dengan perumpamaan ini karya fiksi atau jusru non fiksi dn bagaimana kaitan antara kisah-kisah dalam perumpamaan tersebut dengan hidup kita di era kekinian, pada akhirnya tetap menyisakan penafsiran atau interprestasi.
Sebut saja tentang pengertaian Kerajaan Allah yang dituturkan Yesus lewat perumpamaan-perumpamaanNya tidak secara gamblang dijelaskan.
Di titik ini perumpaaan selalu menuntut interpretasi dari pendengarNya. Dengan demikian apakah jenis sastra dengan perumpamaan ini karya fiksi atau jusru non fiksi dn bagaimana kaitan antara kisah-kisah dalam perumpamaan tersebut dengan hidup kita di era kekinian, pada akhirnya tetap menyisakan penafsiran atau interprestasi.
Bacaan:
The Language of the Kingdom: Parables in the teaching of Jesus dalam John Fuellenbach SVD, The Kingdom of God: the Message of Jesus Today, Orbis Books, New York, 1995.
Posting Komentar