Foto: Koleksi Pribadi Lisa Huang |
Orang lalu berdoa, memohon sesuatu kepada Allah, entah itu tentang pekerjaan, jodoh, kesehatan, dan seterusnya.. lalu Allah menjawab secara otomatis.
Doa dipandang sebagai toko serba ada. Bedanya, toko serba ada yang dimaksud ini serba gratis, tanpa bayar. Pemiliknya Allah yang tak terlihat kasat mata, tapi selalu mengawasi. Karena gratis, kita tinggal minta saja, dan tentu saja gratis.
Demikianlah doa banyak dipahami dan dihidupi banyak orang. Akibatnya, bila doanya tak dikabulkan, maka ia bisa marah dan mulai mengutuk Tuhan.
Dunia kekinian yang berbasis digital nan mengglobal ini memang penuh dengan gombalisasi hingga secara tak sadar kita telah digiring menjadi orang yang pragmatis: semua bisa dibeli, asalkan berguna bagiku!
Berdoa dengan mentalitas pragmatis ini tentu bahaya. Selain merusak logika berpikir, pemahaman doa macam ini berakibat pada penyangkal diri (potensi diri dalam mengupayakan sesuatu) sekaligus menjadikan Allah sebagai obyek yang siaga 24 jam sehari untuk menjawab permohonan kita.
Artinya, bila semua dihitung atau diperhitungkan secara matematis, maka hidup tak lebih dari seonggok kalkulator yang siap menjumlah saldo dari "apa yang telah kita berikan" dan "apa saja yang telah kita minta".
Padahal doa yang sesungguhnya adalah doa yang bersumber dari / berpuncak pada kehendak Allah. Ya, doa itu ekspresi kepasrahan spiritual kita pada kehendak Allah. Sebuah kepasrahan karena kita tak mampu untuk melakukan sesuatu serta memahami sesuatu dalam hidup kita.
Akhirnya, berdoa berarti membiarkan Allah menentukan mana yang baik bagi kita menurut Allah sendiri, dan bukan menurut diri kita sendiri.
Selamat memasuki masa Puasa 40 hari menyambut hari kemenangan, Hari Kebangkitan Tuhan pada Hari Raya Paskah nanti.
Lusius Sinurat
Posting Komentar