Saat para petani membuncah asa mengharap hujan, "Par-saba langit do hami di huta on," kata inang boru Sihotang di Simbolon, Palipi beberapa waktu lalu.
Sekira tiga minggu lalu hujan memang sempat "mandeg" di Samosir. Baru dua hari lalu hujan turun deras dan kemarin turun juga hujan kendati hanya rintik-rintik saja.
Boru Hotang benar. Tak hanya di huta (kampung)-nya, khususnya bila musim kemarau tiba, areal persawahan di berapa tempat di Kabupaten Samosir akan mengering. Lahan yang seharusnya sudah bisa digarap untuk menyambut musim tanam akan terlantar akibat ketiadaan air apalagi sedang musim kemarau.
Di Samosir, sawah hanya bisa dikelola dengan mengandalkan hujan (tadah hujan). Kalau hujan turun mereka bisa menanam padi dengan maksimal. Itu pun hanya bisa setahun sekali. Hasil panen padi juga kurang masksimal karena kekurangan air.
Persoalan kekurangan air untuk mengairi sawah sudah bertahun-tahun dirasakan petani setempat. Kendati ada waduk, tetapi tidak memenuhi kebutuhan air untuk mengairi seluruh sawah petani.
Di sisi lain, saudara-saudara kita di berbagai tempat, termasuk di Jakarta sepertinya sering "benci" pada hujan yang membanjiri wilayah mereka. Sorot kamera televisi memang selalu ke Jakarta, dan sesekali ke kota-kota besar lain yang mudah dijangkau oleh kendaraan mewah mereka.
Tentu tak banyak media yang mau tahu dengan apa yang terjadi di daerah lain, termasuk para petani sawah tadah hujan (saba langit) di Samosir yang kekeringan dan sedang butuh hujan.
So, jangan sesekali melawan kekuatan semesta. Bersahabatlah dengannya
Lusius Sinurat
Posting Komentar