Pertama kali aku mengenalmu secara formal, saat adik masuk ke lingkungan istanaku untuk menata ibukota kerajaan. Tentu aku tak menduga sosok seperti adik yang menjadi mitrakku membangun pusat kerajaan dan penuh uang ini.
Ya, tapi apa hendak di kata. Rakyat ibukota justru berpihak padamu. Kau tahu, dik, ketidak-setujuanku selalu kutunjukkan dengan berbagai ekspresi pura-pura senang saat kamera televisi menyorot pertemuan-pertemuan di mana kita harus hadir bersama.
Aku tak bisa menghindar untuk tidak bertemu kamu, dik. Berbagai acara opening dan seremonial yang mengundangku ternyata juga tak lupa mengundangmu.
Perlahan-lahan aku pun mulai terkesan, kendati tak mudah bagiku menerima kenyataan bahwa adik harus berfoto bersama denganku di seremoni-seremoni itu.
Jadi maaf bila saat itu aku sangat meremehkanmu, dik. Tadinya, kupikir adik itu cuma wong deso yang lebih suka membantuku mendekatkan gong yang akan aku pukul daripada pura-pura berdiri gagah disampingku.
Ah, kau memang aneh, dik. Tapi keanehanmu disukai rakyatku, Bahkan dalam waktu singkat rakyat yang selalu kuklaim sebagai rakyatku itu justru berpindah haluan mendukungmu. Buktinya, jagoanku saat pemilihan raja justru keok hingga tak bisa move on hingga saat ini.
Sungguh tak mudah bagiku, dik. Ya, tak mudah menerima keadaan sekarang, di mana aku makin dibenci disaat kau justru semakin dicintai rakyatmu.
Itulah sebabnya aku berupaya mengembalikan pamorku, termasuk mengembalikan rakyat agar kembali berpihak kepadaku. Aku coba dengan berbagai cara, mulai dari cara paling lembut hingga cara paling vulgar.
Aku mencoba menyerangmu lewat operasi senyap, mulai dari safari-safari politik hingga pidato-pidato politik yang disiarkan ke segala penjuru negeri. Namun, bukan pamorku yang naik. Berbekela kecerdasanmu, safari yang telah kurancang tadi justru berhenti hanya karena kunjunganmu ke rumah hantu yang dulu kubangun.
Tapi aku tak mau kalah, dik. Aku pun mencoba cara lain, yakni dengan mempreteli orang-orang terdekatmu. Tentu anak-anakmu bukanlah sasaranku. Selain karena mereka lebih suka berdagang tahu daripada bermain golf, juga karena anak-anakmu tak justru tak doyan berpolitik kayak dua putraku.
Berbekal hasil temuan intelijenku, orang yang menggantikan adik di ibukota kerajaan ternyata adalah sahabat terdekatmu.
Maka aku pun mencoba mempreteli dia. Aku pikir inilah langkah paling keren tingkat dunia. Bukan apa-apa. Sahabatmu tadi punya latarbelakang berbeda dengan kebanyakan rakyat di negeri kit. fisiknya tak seperti rakyat kebanyakan, dan agamanya bukan agama yang paling banyak penganutnya di negeri ini.
Jujur saja, sebagai mantan raja aku tak mau operasiku ketahuan. Aku pun mencari kelompok yang bisa bekerjasama memuluskan niatku.
Aku bertemu komplotan preman yang dibahwa kepemimpinan sahabatmu justru banyak kehilangan setoran. Tentu bekerjasama dengan mereka itu sangat mudah. Kami tinggal merancang kostum mereka dan mengganti "kerugian" mereka hingga berjanji memberi mereka tempat bila mereka mewujudkan niatku.
Karena hukum dan undang-undang yang dibuat dewan raja tak boleh kulawan, maka aku pun memaksa anakku turun dari medan perang sungguhan untuk menyiapkan diri menjadi tandingan sahabatmu itu.
Singkat kata, mobilisasi massa, bahkan dengan melibatkan berbagai kelompok ternyata tak berhasil. Operasi Sergap yang kuterapkan justru terlebih dahul adik ketahui, dan sesaat kemudian menjadi bahan perbincangan di media.
Ini kegagalanku yang kedua, bahkan kegagalanku yang kesekian saat ingin menggoyang kursi kekuasaanmu. HIngga kini, belum ada bukti bahwa anakku bisa menandingi sahabatmu. Ia bahkan menjadi bulan-bulanan media. Tak hanya itu, rakyat bahkan tahu kalau anakku itu adalah "aku yang lain."
Kini, aku menyerah, dik. Sebagai kakakmu, aku hanya punya satu keinginan. Aku ingin datang ke istana yang pernah kutinggali 10 tahun itu. Aku ingin protes padamu, dik. Soalnya kau mengundang para mantan, tapi aku tidak.
Kau mengundang ketua partai tapi aku tidak. Kau mengundang orang yang pernah kukorbankan tetapi aku justru tak pernah kau undang ke bekas istanaku itu. So, please, dik. Aku rindu ke sana. Kalaupun bukan sebagai tamu undangan, minimal aku ingin datang padamu untuk mengaku kalah.
Ya, aku kalah. Bahkan ketika misili senjataku masih tersedia banyak, aku sudah tahu aku akan kalah. Bagaimana tidak, aku telah kehilangan orang-orang kepercayaanku. Mereka bahkan telah kau asingkan di hotel prodeo karena ketahuan merusak negeri ini.
Dik, kau tahu aku kini sedang sendirian. Perlahan-lahan, mereka yang tadinya memanggilku paduku justru memanggilku kuda. Untuk itu, untuk kesekian kalinya, izinkanlah aku menginjak istana kerajaan yang telah memberiku sejuta kenangan terutama saat aku memproklamirkan Politik Prihatinisme di sana.
Please, izinkan aku masuk dik. Sekali saja!
Please jangan panah aku dengan rasa bersalahku!
Lusius Sinurat
Posting Komentar