"Pak, tadi ada "seseorang" mengikuti bapak. Tampaknya seorang ibu. Tingginya kira-kira 160 cm. Perawakannya agak langsing. Rambutnya panjang dan hidungnya agak mancung. Pokoknya cantik deh, pak," kata Murni ke ayahnya Korman.
Sang ayah, Korman penasaran, "Siapa ya? Terus sekarang ke mana orang itu? Masak bapak enggak bisa lihat atau rasakan kehadirannya sih?" tanyanya kepada Murni.
"Mana aku tahu, pak. Aku aja cuma melihatnya sebentar. Begitu kupandang, dia langsung tertunduk malu, lalu menghilang dari pandanganku," jawab Murni sembari merasa bulu kuduknya merinding.
Kebetulan, tadi sore Korman dan putrinya, Murni sedang jalan sore di komplek perumahan megah di perbatasan kota Medan. Tentu saja mereka berdua belum pernah mengalami apa yang terjadi sore tadi. Baik Korman maupun Murni, keduanya sama-sama memutar otak untuk menuntaskan rasa penasaran mereka.
Murni masih sempat melihatnya dengan samar. Tapi Korman? Ia bahkan tak bisa merasakan kehadiran wanita yang dituturkan putri semata wayangnya itu. Hampir satu jam, sembari menunggu ibunya pulang dari restoran makanan cepat saji, Korman dan Murni larut dalam pembahasan mengenai sosok perempuan itu.
"Siapa ya wanita itu? Apa sebelumnya kamu pernah melihatnya, nak?" Korman seakan tak sadar kalau pertanyaan itu sudah lebih dari 10 kali ia tanyakan ke putrinya. Ia juga sudah mendengar jawaban "tak kenal" dengan jumlah yang sama dari Murni.
Pengalaman Korman dan putrinya, Murni adalah pengalaman kita. Kita sering penasaran dengan hal yang sudah terjadi, terutama ketika peristiwa yang telah lewat itu rada berbau mistis. Anehnya, kalau cerita ini didiskusikan di malam hari kita malah ketakutan sendiri sembari menduga-duga yang tak masuk akal, "Jangan-jangan..... ihhh.... serem"
Lagi, bila pengalaman tadi adalah pengalaman mistis, maka kisah itu bisa jadi dikemas sedemikian rupa hingga jauh lebih mengerikan dari apa yang sesungguhnya terjadi. Persoalannya, kita tak melakukan analisa yang sama, pun tak punya sikap yang sama ketika peristiwa yang telah lewat itu adalah peristiwa yang tampak secara kasat mata.
Tentu saja, ketika peristiwa tadi nyata, maka kita punya kesempatan untuk mengkonfirmasinya secara langsung. Persoalannya adalah apakah si pelaku mengaku atau tidak mengaku telah melakukannya. Tapi aneh. Di dunia politik, berbagai pengalaman riil dan kasat mata tadi justru sering kita pahami sebagai pengalaman mistis seperti pengalaman Korman dan Murni tadi.
Misalnya ketika Anies-Sandi mengatakan akan menyediakan rumah bagi warga DKI Jakarta dengan DP 0%, lalu dalam waktu ringkas menyangkal dan mengubah ucapannya.... ada saja orang yang percaya dan menganggapnya benar atau memaksakannya agar terlihat benar.
Perkataan dengan bukti rekaman tadi bahkan mereka sangkal sebagai sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya. Ini persis apa yang dialami Korman. Ia tak sadar sedang diikuti seseorang apabila tak diceritakan Murni, putrinya.
Bedanya, kalau Korman percaya dengan apa yang disampaikan putrinya, maka para pengikut Anies Baswedan justru tak percaya kalau DP 0% tadi pernah diucapkan oleh paslon jagoannya.
Bisa jadi, perbedaan ini terkait dengan relasi. Hubungan Korman dan Murni adalah ayah dan putrinya. Maka komunikasi yang terbangun adalah komunikasi dari hati ke hati, jujur, tulus dan didasari atas cinta seorang anak kepada ayah dan ayah kepada anaknya.
Sementara apa komunikasi yang terjalin antar Anies Baswedan dan para pendukungnya, terutama tim suksesnya adalah komunikasi yang saling menguntungkan (pragmatis). Akibatnya, sejauh kedua belah pihak masih saling menguntungkan, maka mereka pun akan saling membenarkan.
Mungkin juga hal yang sama terjadi antar paslon Ahok Djarot. Persoalannya, sebagai pen-Dukung Ahok-Djarot Untuk Indonesia Bersih saya malah belum menemukan upaya membenarkan Ahok bila salah. Yang ada hanya meluruskan konteks dan tujuan perkataan itu diucapkan oleh Ahok. Hahaha....
Salam2Jari jangan sampai #2Soemarno saling mencintai di #PilkadaDKIJakartaPutaran2. Asyik .....
Posting Komentar