Katanya, orang Batak itu suka merantau. Semua orang Batak? Tentu tidak. Biasanya seseorang itu memutuskan untuk merantau dengan mempertimbangkan kemauan dan kemampuan secara ekonomi.
Kemauan dan kemampuan di sini tentu saling bertautan. Sebab ada juga orang Batak yang punya kemauan untuk merantau, tapi alasan ekonomi, seperti tak punya ongkos pergi dan modal usaha sering menjadi kendala.
Tapi itu sih cerita dulu. Kalau sekarang, sesudah ekonomi membaik, atau karena sudah banyak tauke yang rela meminjaman uang mereka dan dikembalikan setelah panen, masalah tadi otomastis teratasi.
Soal bunga 15-40% tak masalah bagi orang tua. Yang penting anaknya merantau: siapa tahu tenar seperti Hotma Paris Hutapea atau Ruhut Sitompul.
Akibatnya, di Samosir banyak huta (desa, kampung), terutama di atas gunung dan cukup jauh dari tepi Danau Toba semakin hari semakin sepi. Rumah-rumah bahkan itu telah berubah menjadi museum tanpa pengunjung.
Rumah-rumah ini biasanya baru akan terlihat ramai saat menjelang Natal dan Tahun Baru, atau saat ada pesta perkawinan keluarga, pun kalau anggota keluarga yang meninggal, atau saat ada pembangunan tugu, istana bagi tengkorak leluhur mereka.
Bulan lalu saya ke Jakarta dan bertemu dengan orang Batak bermarga Tamba, yang lahir dan bertumbuh di Huta Tamba, seberang Panguruan, Samosir.
Sejak lulus kuliah di Medan, dia pun memutuskan untuk merantau ke Jakarta hingga menemukan jodoh di sana. Uniknya, ida selalu patuh pada nasihat orang tua agar menikah dengan boru Batak.
Menurut si Tamba, ia selalu "berpikir ulang" bila ingin mudik ke huta-nya. Itu karena orang di huta-nya telah terlanjur beranggapan bahwa perantua itu hanya akan pulang bila ia sudah sukses. Artinya, bila ia sudah memutuskan untuk pulang, maka ia harus berlaku bak Sinterklas bagi warga huta-nya.
Maka demi menghindari itu, ia pun menahan diri dan lebih suka membawa orangtuanya ke Jakarta daripada harus pulang mengunjungi mereka di sana. Akhirnya, si Tamba tadi pun baru pulang ke kampung halamannya setelah 10 tahun merantau di Jakarta. Itu juga karena ia 'harus' menikah dan dipestakan dalam ritual adat Batak.
Tak lama berselang, saat saya ke Semarang saya bertemu dengan orang Batak yang juga berasal dari Samosir. Tapi aku lupa persis dari mana huta-nya. Kalau tak salah dia itu marga Simarmata. Dia bertutur banyak tentang kebiasaan orang Batak di huta-nya.
Menurut di huta-nya sana, semua orang di sana masih satu rumpun keluarga. Itu artinya dalam pergaulan sosial satu sama lain harus saling menjaga diri, hingga tak jarang justru berjarak, kecuali saat ada perantau yang pulang.
Makanya saat Simarmata memutuskan untuk pulang kampung, maka itu berarti ia sudah siap untuk "berbagi". Sebab bila tidak, ia akan dituduh sebagai orang gagal bahkan orang sombong, bak kulit lupa akan kacangnya. Maka ia pun memutuskan pulang hanya saat ada acara tertentu dan sangat penting saja.
Saat liburan Natal dan Tahun baru di Bali, saya juga bersua dengan seorang anak muda Batak bermarga Tambunan. Ia bekerja sebagai kasir di salah satu toko pakaian bikini di Kuta, Bali.
Tambunan juga banyak cerita tentang kemiskinan di huta-nya, sembari membanding-bandingkan kehidupannya yang lebih baik saat ini.
Akibatnya, kalau pulang kampung ia harus sungguh harus siap. Kalau tak ada uang atau oleh-oleh yang dibawa maka ia merasa tak enak. Jadi aja deh dia malas pulang.
*****
Tiga orang asal Samosir yang secara kebetulan bertemu dengan saya dalam kurun waktu kurang dari satu bulan memang punya kisah yang menarik, tetapi kurang lebih sama. Ketiganya sama-sama berbicara tentang kesulitan ekonimi di huta masing-masing.
Entah dari sudut mana mereka melihat "tak bisa punya HP bagus, tak bisa jalan-jalan ke mall, tak bisa kencan dan gonta-ganti pacar, tak bisa beli mobil, dst" itu sebagai kesulitan, bahkan sebuah gambaran tentang kemiskinan.
Sejauh saya tangkap, mereka melihat masa lalu mereka di Samosir dulu dengan kacamata mereka saat ini. Itu berarti, mereka hanya fokus pada Pulau Samosir yang indah itu sebagai daerah miskin.
Sebaliknya tak terbersit di pikiran mereka bahwa Danau Toba dengan Pulau Samosirnya, khususnya eksotiknya huta mereka adalah sebuah kebanggaan yang justru tak boleh dilupakan.
Tadi pagi, saat saya tuturkan kisah di atas kepada Pak Nainggolan dan Ito br Tamba yang lagi nongkrong di di Pastoran Paroki Palipi, Samosir, mereka tak asing dengan kisah itu. Mereka hanya manggut-manggut pertanda setuju.
****
Kesadaran bahwa Danau Toba dan Pulau Samosir ditengahnya adalah hadiah terindah dan tak tertandingi bagi orang Batak Toba ternyata justru lekang dari pikiran dan hati orang Samosir itu sendiri.
Di sisi lain, himpitan ekonomi, juga dahsyatnya iklan untuk datang ke Medan, Jakarta, Surabaya, Bandung, Pulau Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Papua pada akhirnya jauh lebih menarik bagi mereka.
Maka, ketika BODT digulirkan hampir tak terlihat masayrakat Samosir yang melirik dimensi magis dari keindahan Danau Toba, pun pesan leluhur mereka untuk menyucikan keindahan Danau Toba itu sendiri.
Himpitan ekonomi, sebagaiman dituturkan di atas, tampaknya masih dijadikan sebagai alasan untuk membiarkan kawasan sekitar mereka dipenuhi sampah-sampah, bahkan atas nama alasan ingin kaya seperti para perantau mereka pun tak segan menjual tanah warisan leluhur mereka, lalu pergi meninggalkan Pulau Samosir kesepian.
Tahu kenapa hal ini bisa terjadi?
Itu karena orang Batak di wilayah Samosir dan sekitarnya hanya tahu bahwa keindahan tak ada artinya bila tanahnya tak menghasilkan padi, kopi, jagung dan tanaman lainnya.
Mereka tak menyadari bahwa mereka memiliki sesuatu yang sangat berharga bila mereka rawat dengan baik, yakni keindahan Danau Toba dengan Pulau Samosir yang eksotik ditengahnya.
"Memang keindahan bisa dijual, lae?".... "Mau makan apa dengan keindahan Danau Toba ini, ito?" tanya para pedagang di Pasar Inpres Pangururan tadi pagi.
Saya cuma jawab spontan. "Bah, kenapa kalain pusing dengan itu? Kita jual keindahan Danau toba ini ke para turis mancanegara dan turis lokal. Mereka boleh melihat dan menikmatinya, tetapi harus membayar untuk perawatannya.
Tak hanya tepi danau, ito/lae. Kuburan dan tugu-tugu yang menjulang tinggi itu pun bisa menjadi obyek wisata yang berharga tinggi. Bukankah di sana terpampang sejarah yang bisa dipelajari orang lain? Seperti itulah yang dilakukan masyarakat Bali.
Pura kecil di pedesaan bisa menjadi obyek wisata hanya karena ornamen lokal dan perlakukan magis dari warga desanya. Apa ruginya orang berfoto di sana seraya kita ingatkan bahwa itu tempat suci?
Lagipula BODT itu gunanya cuma satu, amang/inang. BODT itu bertugas untuk mengundang sebanyak-banyaknya turis ke Danau Toba lewat berbagai ajang promosi dan iklan-iklan di media cetak dan elektronik.
Maka, kalau masyarakat Samosir pada akhirnya justru menampilkan apa yang diiklankan dan dipromosikan itu, maka siapa yang akan berkunjung ke sini ebih dari sekali? Kecewa bukan?
Ini harapan kita semua sebagai orang berdarahy Batak, baik yang ada di perantauan tetapi terutama masyarakat Samosir, yakni agar Pemda Samosir semakin mempercepat laju pembangunan manusia, terutama mengubah mentalitas petani menjadi masyarakat parawisata.
Bila pembangunan fisik sudah mulai digenjot, maka jangan sampai di setiap persimpangan hanya ada Restoran Padang, di pusat kota hanya ada KFC dan Pizza Hut, dan seluruh bisnis justru dikuasai pendatang, hingga masyarakat lokal hanya bisa menjadi penonton."
Lusius Sinurat
Posting Komentar