Doa Meluluhkan Kesombongan Intelektual |
Pada umur 20 tahun St. Monika, penganut Katolik yang saleh dan rajin beribadat, menikah dengan Patrisius, seorang pejabat Romawi yang sangat temperamental. Patrisius dan St. Monika tinggal serumah dengan ibu mertuanya yang juga seorang pemarah. Ia memiliki tiga anak: Agustinus, Navigius dan Perpetua.
Doa dalam hidup keluarga
Kebiasaan suaminya yang pulang malam hari dengan kondisi mabuk dan sikap ibu mertuanya yang pemarah, ditambah kelakuan Agustinus yang mirip ayahnya tak ayal lagi membuat kehidupan St. Monika bergumul dalam berbagai kesulitan, terutama posisinya sebagai ibu yang harus membesarkan anak-anaknya
Apakah St. Monika lantas menyerah? Tidak. Ia justru berdoa kepada Tuhan agar suami, ibu mertua dan anak-anaknya hidup dalam kebenaran Tuhan (Conf. IX.19). Ia percaya bahwa keselamatan sebuah keluarga ada ditangannya, di tangan seorang dengan doa-doanya. Sebagai seorang istri, ia tetap setia memelihara rumah tangga dengan kesalehan, termasuk melakukan tugasnya sebagai ibu yang baik. Ia membesarkan anak-anaknya sembari berupaya “melahirkan kembali” mereka disaat hidup mereka menyimpangdari Allah, terutama Agustinus (Conf.IX.22).
Bagi St. Monika, rumah keluarga adalah lingkungan alami, tempat anak-anak harus dilatih untuk solidaritas dan tanggung jawab bersama. Seorang ibu harus mendidik anak-anaknya, supaya melindungi mereka dari kelonggaran-kelonggaran palsu dan dari kehilangan martabat yang membahayakan tiap masyarakat manusia.
Prinsip ini sejalan dengan KGK 2226 yang menegaskan bahwa “Pendidikan iman oleh orang-tua sudah harus mulai sejak usia anak-anak. Ia mulai dengan kebiasaan, bahwa anggota-anggota keluarga saling membantu, supaya dapat tumbuh di dalam iman melalui kesaksian hidup yang sesuai dengan Injil. Katekese keluarga mendahului semua bentuk pelajaran iman yang lain, menyertainya dan memperkayanya. Orang-tua menerima perutusan untuk mengajar anak-anaknya berdoa dan mengajak mereka menemukan panggilan mereka sebagai anak-anak Allah.”
Ini menjadi alas an utama mengapa St. Monika tetap setia dalam doa? Ia tak putus asa dengan berbagai kesulitan yang dihadapinya, apalagi harus kehilangan imannya. Ia tetap berharap, dan harapan itu ia tuangkah dalam doa.
Doa Membuncah Asa
St. Monika selalu berdoa dengan penuh keyakinan, ketekunan dan penuh iman, terutama demi pertobatan Patrisius, suami tercintanya, juga untuk mertuanya dan anaknya Agustinus. Doa adalah kekuatannya, hingga ia tak bisa menghentikannya. Bak menggedor-gedor pintu surga, untaian doa St. Monika pun membangunkan para penghuni surga. Akhrinya Tuhan pun mengabulkan doanya.
Setahun sebelum meninggal pada tahun 371, Patrisius, suaminya meminta untuk dipermandikan. Begitu juga dengan ibu mertuanya. Tapi anaknya, Agustinus justru masih asyik dengan masa remaja dan masa mudanya. Sepeninggal ayahnya, Agustinus justru semakin liar. Tak hanya larut dalam kebiasaan mabuk dan seks bebas hingga membuahkan anak bernama Deodatus, tetapi juga ia mengikuti aliran Maikheisme yang justru ditentang Gereja Katolik yang dianut sang bunda.
Di masa itu Agustinus menuturkan bahwa ia sedang dikuasai oleh nafsu duniawi: “Duri-duri hawa nafsuku menjulur sampai ke atas kepalaku dan taka ada tangan untuk mencabutnya” (Cof. II.III.6).
Namun, sebagai seorang ibu, St. Monika tetap berharap anaknya mengimani Tuhan. Demi pertobatan Agustinus, St. Monika bahkan tak sekedar berdoa dengan linangan air mata bagi pertobatan anaknya. Ia juga berlari menyusul Agustinus ke ke Roma dan Milano. Di Kota Milano itulah St. Monika berkenalan dengan Uskup Ambrosius, yang dalam pengakuan Agustinus sagnat berperan dalam pertobatannya.
Melalui teladan dan bimbingan Ambrosius, Agustinus pun akhirnya bertobat dan dibaptis tepat pada tanggal 24 April 387 oleh Ambrosius. Selanjutnya, Agustinus memutuskan untuk mengabdikan diri pada Tuhan. Bersama beberapa teman dan saudara ia hidup bersama dalam doa dan meditasi.
Doa Menghalau Kesombongan
Mengenai pertobatannya ini, Agustinus mengungkapkan kesulitannya. Proses transformasi keinginannya untuk memperbaiki diri sungguh tak mudah. Menurut Agustinus, proses itu hanya mungkin direalisasikan dengan bantuan rahmat Tuhan yang dibarengi dengan kerjasama dari pihaknya sebagai manusia.
Peperangan di dalam batinnya yang sebetulnya ingin hidup murni, justru seringkali hanya berakhir pada keinginan belaka tanpa tindakan nyata. Seringkali keinginan mempunyai “keinginan tersembunyi” – yaitu tetap menginginkan ketidakmurnian – sehingga ketika keinginan untuk hidup murni datang, tidak benar-benar dilakukan dengan keinginan yang teguh dan tak tergoyahkan.
Dalam pengakuannya, Agustinus menyampaikan dengan jujur tentang proses tersebut, “Tuhan, berikan aku kemurnian, namun jangan sekarang.” Kesadaran bahwa dengan kekuatan sendiri, kita akan gagal untuk memperbaiki diri, sudah seharusnya mengingatkan kita bahwa hanya dengan bantuan rahmat Allah saja, kita dapat menjadi murni dan terlepas dari dosa-dosa ketidakmurnian yang telah menjadi kebiasaan.
Kesadaran inilah yang membawa Agustinus pada pertobatan yang sungguh, yaitu ketika dia menyesali mengapa tidak sejak awal ia meminta kepada Allah untuk memberikan rahmat-Nya supaya dia dapat terlepas dari dosa tersebut. Doa sang bunda, St. Monika dan bimbingan iman dari Uskup Ambrosius sangat berperan dalam proses transformasi dirinya.
Agustinus mengakui bahwa pertobatannya adalah buah tangis ibunya (Conf.IX.33). Tentang pertobatannya ini, Agustinus mengungkapkan, “Ibuku tetap bersama kami, dengan penampilan seorang wanita, dengan iman seorang pria, dengan kepercayaan diri seorang wanita berusia lanjut, dengan kelembutan seorang ibu, dengan kesalehan seorang Katolik.”(Conf. IX.IV.8).
Lima hari kemudian St. Monika jatuh sakit. Pada hari yang kesembilan St. Monika wafat dalam usia 56 tahun. Sebelum meninggal ia menyampaikan pesan terakhirnya kepada kedua puteranya, Agustinus dan Navigius, “Yang kuminta kepada kalian hanyalah supaya kalian memperingati aku di altar Tuhan di mana saja kalian berada.”
Doa terakhirnya ini pun terkabul. Agustinus tak hanya bertobat dan dibaptis menjadi seorang Katolik, tetapi juga memutuskan untuk hidup selibat dan membaktikan diri pada pelayanan kepada Allah.
Dalam penjelasan Agustinus, kalimat “diingat di altar Tuhan” menggambarkan ibunya yang telah melayani altar itu tanpa melewatkan satu hari pun. Santa St. Monika dihormati sebagai pelindung ibu rumah tangga dan pestanya dirayakan setiap tanggal 27 Agustus.
Doa, Cahaya Intelektualitas
Semasa hidupnya Agustinus adalah seorang pengkhotbah yang ulung. Banyak orang tak percaya kembali ke gereja Katolik sementara orang-orang Katolik semakin diperteguh imannya. Agustinus menulis surat-surat, khotbah-khotbah serta buku-buku dan mendirikan biara di Hippo untuk mendidik biarawan-biarawan agar dapat mewartakan injil ke daerah-daerah lain, bahkan ke luar negeri. Gereja Katolik di Afrika mulai tumbuh dan berkembang pesat.
Inilah puncak dari segala kebahagiaan hidup St. Monika, yakni pertobatan anaknya, Agustinus. Kata St. Monika kepada Agustinus dalam perjalanan pulang ke kampung halamannya, “Anakku, bagiku tidak ada lagi yang dapat memukauku dalam kehidupan ini. Apa lagi yang dapat kuperbuat di dunia ini? Untuk apa aku di sini?
Entahlah, tak ada lagi yang kuharapkan dari dunia ini. Ada satu hal saja yang tadinya masih membuat aku ingin tinggal cukup lama dalam kehidupan ini, yaitu melihat engkau menjadi seorang Katolik sebelum aku mati.
Keinginanku sudah dikabulkan secara berlimpah dalam apa yang telah diberikan Allah kepadaku: kulihat kau sudah sampai meremehkan kebahagiaan dunia ini dan menjadi hamba-Nya. Apa yang kuperbuat lagi di sini?”
Pada tahun 388, setelah ibunya wafat, Agustinus tiba kembali di Afrika. Ia menjual segala harta miliknya dan membagi-bagikannya kepada mereka yang miskin papa. Ia sendiri mendirikan sebuah komunitas religius.
Atas desakan Uskup Valerius dan umat, maka Agustinus bersedia menjadi imam. Empat tahun kemudian Agustinus diangkat menjadi Uskup kota Hippo.
Hingga menjelang wafatnya, pada tanggal 28 Agustus 430 di Hippo dalam usia 76 tahun, Agustinus telah meinggalkan warisan sangat berharga bagi Gereja, berupa kumpulan surat, khotbah serta tulisan-tulisannya
Agustinus dikenang sebagai Uskup dan Pujangga Gereja serta dijadikan Santo pelindung para seminaris. Pestanya dirayakan setiap tanggal 28 Agustus.
Doa, Kesadaran Akan Cinta Yang Terlambat
Bagi siapa saja yang pernah belajar Filsafat dan Teologi nama Agustinus sungguh taka sing laig. Ia merupakan seorang figur pusat, baik dalam Kristen maupun dalam sejarah pemikiran Barat. Argumen filsafat dan teologinya banyak dipengaruhi oleh Platonisme dan Neoplatonisme, terutama oleh karya Plotinus. Pandangannya yang umumnya positif terhadap pemikiran Neoplatonik ikut menolong "dibaptiskannya"pemikiran Yunani dan masuknya ke dalam tradisi Kristen dan kemudian tradisi intelektual Eropa.
Secara ringkas, ada dua pandangan penting dari Agustinus, yakni (1) manusia harus bergantung kepada kedaulatan Allah, dan (2) manusia mempunyai tugas merefleksikan Allah di dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi ada hubungan vertkal ke atas yakni Tuhan dan hubungan horisontal ke sesama manusia. Artinya, menurut Agustinus, tak penting seberapa jauh seseorang menyimpang dari Tuhan, sebab Tuhan selalu siap untuk membawanya kembali.
Demikianlah St. Agustinus sangat memengaruhi pemikiran Barat hingga kini, terutama filsafat dan teologi.
Penutup
Ketika hari-hari ini kita berperang melawan godaan yang berasal dari nafsu kedagingan, dunia dan kesombongan, maka rahmat Allah yang kita terima lewat sakramen, doa dan studi iman adalah senjata penting dalam peperangan rohani kita. Hanya dengan cara inilah seorang Katolik dapat menemukan terang yang menuntun kita ke dalam keabadian.
Inilah gerak doa St. Monika yang sangat dahsyat, yang tak saja melecut kebangkitan hidup Agustinus dalam kegalauan hati dan pikirannya, tetapi juga karena sebagai seorang ibu Katolik, St. Monika sangat bertanggung jawab atas pendidikan iman dan pertumbuhan kekudusan anak-anaknya.
Kuta-Bali, 18 Januari 2017
Lusius Sinurat, M.Hum
Lusius Sinurat
Posting Komentar