Fenomena ini semakin marak, terutama di Indonesia. Syarat jadi seorang kacung yang akan dijadikan bos itu sangat sederhana antara lain:
- Tau sedikit tentang agama tapi harus ngotot mengatakan dirinya paling beragama,
- Harus bisa ngotot, terutama bila ia salah (itu karena ia memang tak pernah benar),
- Bodoh bin tolol alias tak boleh mengandalkan logika berpikirnya
- Punya banyak pengikut yang tololnya sama, seragam yang sama dan pendapat yang sama dengan bosnya, dan
- harus bisa menebar ancaman ke sasaran yang dikehendaki bos yang sesungguhnya alias dia yang telah membayar komplotannya.
Lalu yang paling cerdik itu siapa ya?
Kacung yang dijadikan bos dan para pengikut setianya, atau justru bos yang sesungguhnya, yakni si pemilik modal dan kepentingan yang mampu mengendalikan si kacung dan pengikutnya tadi dengan uang?
Sebetulnya yang paling bodoh adalah publik yang begitu fokus pada pemberitaan di televisi, koran, dan media sosial, tetapi serentak tak pernah sadar bahwa pelaku kejahatan sesungguhnya adalah mereka yang tak terlihat di monitor tivi, PC, laptop, atau smartphone mereka.
Itu karena pelaku kejahatan yang sesungguhnya cukup mengkonversi keinginan mereka dengan lembaran demi lembaran uang untuk membayar kacungnya bos tadi.
Maka tak aneh ketika pengadilan justru membolehkan kriminal Gus Joy dan Habib Novel jadi #saksipalsu untuk Ahok disaat mereka justru hanya bisa mengatakan #sayalupa dan salah mengeja Pizza Hut menjadi #FitsaHats
Kebodohan mereka memang dipesan alias dibeli oleh si empunya uang, apalagi kebodohan itu bisa mengalihkan kamera televisi dan ponsel netizen dari gerak-gerik si bos yang sesungguhnya dalam memuluskan niat jahatnya.
So, jangan terlalu pusing dengan Kacungnya Bos, tetapi mari kita cari Bosnya si Kacung, yang justru bersembunyi di lorong-lorong nan sepi.
Posting Komentar