Bila tahun 1970-an setiap orang sakit selalu dikaitkan dengan pengaruh atau gangguan gaib, hingga harus disembuhkan secara gaib, maka di erah modern yang di negara kita mulai terasa di tahun 1990-an, orang sakit sudah mulai dibawa ke rumah sakit.
Ini berimbas pada perekonomian. Rumah sakit di masa 1970-an justru tak sanggup membayar jasa dokter di masa itu. Berbeda di tahun 1990 hingga saat ini, Rumah sakit malah lebih sering kekurangan kamar dan tenaga dokter semakin diseleksi oleh pasar.
Itu baru soal bisnis rumah sakit. Belum lagi di berbagai sektor, terutama dalam hal memaknai hidup, soal eksistensi hidup seseorang.
Kalau di tahun 1970-an kebutuhan masih terpisah dari keinginan, maka di era 2000-an, beda antara kebutuhan (need) dan keinginan (want) justru semakin hilang. Ini ada erat terkait dengan tingkat perekonomian yang semakin baik.
Terkait dengan berbagai perubahan di atas, pola pikir, cara bertutur dan pola tindak seseorang pun berubah. Kebaikan, ketulusan, kejujuran, keseriusan, kesetiaan, dst semakin hari semakin direlatifkan.
Hanya saja positifnya, setiap jaman selalu menyisakan orang-orang "gila", dan mereka sering dituduh sebagai penentang jaman, bahkan digolongkan sebagai orang-orang yang gagal dalam hidup mereka.
Tetapi tunggu dulu. Rasanya terlalu buru-buru menilai orang lain seperti itu. Mereka saya kategorikan "gila" justru karena tak mudah terbawa arus jaman, punya pendirian, berani mengatakan ya ketika banyak orang mengatakan tidak, berani melawan ketidakbenaran, dst.
Sadar atau tidak mereka inilah yang selalu menghiasi media, entah karena jadi bahan omongan, gosip bahkan diam-diam menjadi acuan untuk beberapa orang.
Di level pemimpin tertinggi kita punya Jokowi yang "gila". Di level gubernur kita punya Basuki Tjahya Purnama alias Ahok yang terpilih jadi gubernur terbaik Asia dan Indonesia (Gubernur DKI Jakarta), juga ada Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo (6,8 persen).
Sementara di level kabupaten kita punya Hasto Wardoyo (Bupati Kulonprogo), Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi), Mathius Awoitauw (Bupati Jayapura) dan Bambang M Yasin (Bupati Dompu).
Tak hanya itu, di level Wali Kota kita juga punya Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung), Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), Illiza Sa'aduddin Djamal (Wali Kota Banda Aceh), Rizal Effendi (Wali Kota Balikpapan), Herman HN (Wali Kota Bandar Lampung ) dan Wali Asrun (Kota Kendari).
Itu baru di level para pejabat publik. Pasti masih banyak pejabat, pengusaha, pendidik, dokter, praktisi, jurnalis, pengawai atau karyawan, dan berbagai profesi lain.
Mereka ini semua adalah orang-orang yang pola pikirnya "out of the box" atau diluar kewajaran cara berpikir umum.
Nah, aku juga punya beberapa teman yang "gila", yang sebetulnya ia berpotensi jadi orang yang lebih hebat dari sekarang, tetapi ia memilih untuk biasa saja.
Termasuk ketika banyak orang korupsi ia justru menjauhi korupsi. Juga ketika menjadi pejabat publik selalu punya peluang meraup banyak uang ia malah teguh dalam pendirian untuk menolak, termasuk ketika ia digosipkan macam-macam.
Begitu juga tak semua dari pengusaha yang terburu-buru menjadi kaya dan menjadi yang terkaya monopoli di untuk jenis barang atau jasa tertentu.
Mereka inilah orang gila yang saya maksud. Mereka yang sebetulnya punya nilai jual sangat tinggi malah memilih untuk melayani secara gratis, dan terutama mereka adalah orang yang berani mengatakan "cukup" untuk segala tawaran yang membuatnya lebih "wahhhh".
Sayangnya mereka selalu tak punya banyak "kawan" di levelnya. Sebaliknya, ia selalu berteman juga dengan orang-orang gila di bidang yang lain.
Menariknya, semakin ke sini, jumlah orang "gila" ini justru semakin banyak, yakni mereka yang begitu peduli pada korban bencana, membantu orang yang membutuhkan, melayani tanpa pamrih, ds.
Kendati demikian, jumlah orang yang membuat yayasan untuk keuntungan, mendirikan LSM untuk mendatangkan banyak uang, membuat ormas untuk mengancam kenyamanan dan keamanan masyarakat, bahkan memaksa diri tersenyum disaat ia membunuh orang.
Begitulah dunia selalu berjalan dalam dua warna yang menonjol: putih atau hitam. Tinggal kita yang memilih: mau bermain di dunia hitam atau malah betah di dunia putih. Hanya saja kebanyakan orang cenderung memilih apa yang disukai kebanyakan orang.
Dalam konteks Perayaan Natal, umat Kristiani selalu lantang bicara tentang Kelahiran Juruselamat Umat Manusia, yakni Yesus Kristus yang lahir di tempat yang tak sewajarnya... tetapi sering terjadi, seruan mereka justru dikumendangkan dari istana ketidakmautahuan mereka atas bayi-bayi yang mati dan berakhir di tempat sampah.
Lusius Sinurat
Posting Komentar