Perayaan Natal di negeri yang penuh sesak oleh rasa curiga dan benci demi merebut tahta ini tak ayal lagi adalah saat di mana kita harus "kembali" berurusan dengan Tuhan secara pribadi, mengembalikan relasi antara "Aku dan Dia" dari kebiasaan mengimaniNya secara komunal lewat ritual-ritual massal.
Sekali lagi, Natal adalah momentum yang amat penting bagi kita untuk kembali menjadi persona yang lahir dalam bungkus cinta yang begitu putih-polos: pribadi yang sedemikian menyatu dengan Tuhan sang mahacinta.
Berbagai hingar bingar politis bernuansa agama di negeri ini telah mengingatkan kita pada pemaknaan ulang dimensi kemanusiaan dan kadar keimanan kita kepadaNya secara personal.
Ya, kita harus kembali kepada diri kita sendiri dan merayakan kehadiran Tuhan dalam kekosongan diri itu. Sebab, dengan mengosongkan diri, kita telah memberi ruang bagi Allah untuk berdia barang sejenak saja.
Demikianlah makna kelahiran Tuhan dalam sosok mungil berbungkus lampin putih ditengah sepinya malam, pun tanpa hingar bingar teriakan "Kafir!" Ia dibaringkan di atas jerami yang telah mati dilindas kaki-kaki para demonstran perusak harmoni negeri dan dihagantkan oleh nafas domba-domba yang ketakutan dituduh penista agama.
Christus natus est. Kristus memang telah telah lahir dalam tangisan bayi yang mewakili rintihan seluruh anak negeri yang satu sama lain tak lagi berkawan sebagai saudara, hanya karena saban hari mereka meneriakkan nama Allah dengan volume berbeda.
Tangisan bayi Yesus adalah tangisan melawan dajjal dan ya’juj dan ma’juj, saat di mana kegelapan hati dan kesesatan pikiran menguasai bumi pertiwi. Tangisan bayi Yesus adalah tangisan atas ulah para munafikun yang telah memanipulasi Allah demi kepentingan dirinya.
Tangisan bayi Yesus adalah tangisan atas segala siasat manusia yang suka membohongi sesama, menyesatkan yang lain. Tangisan itu juga adalah tangisan atas egoisme kita yang mengklaim diri sebagai hamba, pasukan, utusan, bahkan nabi yang disuruh Allah untuk menumpas manusia lain, terutama yang percaya pada keilahian sang bayi yang sedang menangisi kita.
Tangisan bayi mungil, anak dari Yosep dan Maria itu adalah tangisan yang memecah malam sepi, malam di mana kita selalu memaksakan kehendak kita kepada yang lain, hingga dengan gelap mata siap membantai mereka yang berbeda.
Tangisan itu juga adalah tangisan Bunda Maria di saat kita tak lagi berani membiarkan Tuhan merajai hidup kita: "Fiat voluntas Tua!" (terjadilah padaku menurut kehendakMu).
Keharuan Maria dan Yosep kala menyaksikan sang bayi mungil Yesus di atas kandang bertabur bintang dari surga, beriring suara merdu para malaikat nirwana serta wewangian 'sesajen' dari tiga Majus dari Timur adalah saat di mana segala air mata diseka oleh kelahiran-Nya.
Sebab, melalui kelahirannNya kita yang datang dari berbagai golongan suku bangsa akan dipersatukannya dalam batulatan "Bhineka Tunggal Ika".
Demikianlah Natal bukan sekedar kelahiran Yesus, tetapi juga tentang kesiapan manusia yang menyambutnya. Kesiapan Maria, Yosep, juga para gembala akan kelahiran Sang Juruselamat tampil di sekitar palunganNya: Fiat voluntas Tua!".
Lihatlah, betapa bahagiaNya Maria, Yosep, para malaikat, para gembala dan tiga majus dari Timur saat memandang bayi Yesus yang lahir itu. Kenyataan ini membuktikan bahwa kebahagiaan itu memang sederhana: "Anda cukup mencintai Tuhan dan sesama!"