Sumber: Facebook |
Tentu aku tak main sendiri. Teman-teman seusiaku kala itu juga melakukan hal sama. Mereka juga harus diingatkan agar jangan terlalu asyik bermain hingga lupa belajar dan makan.
Di desa, kecuali karena lupa belajar dan makan, orang tua nyaris tak melarang anak-anak mereka mereka bermain, Mereka seolah sadar pentingnya dunia anak-anak (homo ludens).
Di masaku anak-anak, misalnya, aku dan teman-teman aku sering memainkan permainan ini Marsitekka (engklek/sunda manda/sura manda), Margala (sodoran/gobak sodor/galah asin), Marumpera (lompat tali - terkadang menggunakan karet gelang yang dirajut sebagai medianya), Marpatuklele (Gatrik atau Tak Kadal) atau Marjala (bermain ular naga).
Di desa, kecuali karena lupa belajar dan makan, orang tua nyaris tak melarang anak-anak mereka mereka bermain, Mereka seolah sadar pentingnya dunia anak-anak (homo ludens).
Di masaku anak-anak, misalnya, aku dan teman-teman aku sering memainkan permainan ini Marsitekka (engklek/sunda manda/sura manda), Margala (sodoran/gobak sodor/galah asin), Marumpera (lompat tali - terkadang menggunakan karet gelang yang dirajut sebagai medianya), Marpatuklele (Gatrik atau Tak Kadal) atau Marjala (bermain ular naga).
Tak hanya itu. Masih ada permainan lain seperti Martabuni (petak umpet), Marunjal (menggunakan karet gelang), Marjalekka (enggrang), Bodil-bodilan (bermain perang-perangan dengan senjata mainan hasil kreasi sendiri), Marmariam (meriam bambu), Marpolli (voleyball), Marbola (football), Marguli (bermain kelereng), dst.
sumber: google.photos |
Harap diingat, pada tahun 90-an, Orde baru masih menerapkan sistem pemerintahan tertutup, dengan pendekatan yang otoriter dan nyaris mendekati sistem diktator.
Maka apa dan siapa saja yang melawan pemerintah hampir pasti akan diberangus, tak terkecuali bila ada guru yang mengajar dengan menafsir terlalu jauh materi pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), PMP (pendidikan Moral Pancasila), dst
Artinya, pelajaran di sekolah harus diajarkan "apa adanya" dan harus mengakui bahwa Soeharto adalah dewa perjuangan kita. Ya, mirip-mirip lah sama Korea Utara yang mendewakan Kim Jong Un.
Akibatnya, di masa kami anak-anak, hanya kami anak-anak SD lah yang masih boleh berkeliaran dan bermain sepuasnya, dan tak jadi soal bila mereka menyebut nama Sekarno, Soedirman dan nama-anam pahlawan revolusi. Asal mereka jangan menyebut nama Aidit, Oentoeng, Subandrio atau DN. Aidit. Kalau itu yang terjadi, maka siap-siaplah orangtua mereka diinterogasi.
Bisa kita bayangkan betapa hebatnya Soeharto kala itu. Tanpa telepon pinter seperti marak sekarang ini pun, informasi "negatif" dari pelosok selalu sampai ke Pusat dengan sangat cepat. Itu berarti, walaupun anak-anak bebas bermain hingga "Dunia Dalam Berita" di TVRI usai, tetap saja mereka diberi batasan-batasan tertentu.
Nyatanya, bermain bersama teman-teman itu adalah satu-satunya hiburan kami di masa anak-anak, sebagaimana juga kaum bapak di Sumut yang menghabiskan waktu mereka di Lapo Tuak dan ibu-ibu 'ngerumpi di rumah-rumah tetangga demi mencari hiburan.
Bahkan, karena bermain bersama teman-teman di masa kecil itulah yang membuat generasi kami yang lahir tahun 70-an tetap ingat teman-teman masa kecil.
Aku sendiri masih ingat beberapa teman SD dan teman mainku sekaligus, seperti Robinson Simarmata, Elfrida Situmorang, Murni Sinaga, Lisbet Sianturi, Elida Irawaty Saragih, Marli Hutasoit, Rayani Purba, Ringan Pasaribu, Pinondang Sihombing, Laing Beresman.
Ada lagi Johanson Sitanggang, Lisna Sinaga, Resta Sinaga, Forman Simanjuntak, Johanes Nainggolan, Reli Manik, Leris Siahaan, Lamhot Purba, Saurma Lina Simbolon, Jamansen Damanik, Maringan Sinurat, Kamrus Situmorang, dll.
Mereka semua teman main dan sebagian besar juga teman satu sekolah di SDN N0. 094103 Bahtonang. Tak hanya teman, guru-guru kala itu juga kami ingat, seperti Morhalam Saragih, Mansen Sitanggang, Morli Sinaga, Aspita Sinaga, Dermawati Purba, P. Situmorang, S. br. Damanik, Edy Simanjuntak, Sudarman Purba Sigumonrong, dan beberapa guru honor.
Bisa kita bayangkan betapa hebatnya Soeharto kala itu. Tanpa telepon pinter seperti marak sekarang ini pun, informasi "negatif" dari pelosok selalu sampai ke Pusat dengan sangat cepat. Itu berarti, walaupun anak-anak bebas bermain hingga "Dunia Dalam Berita" di TVRI usai, tetap saja mereka diberi batasan-batasan tertentu.
Nyatanya, bermain bersama teman-teman itu adalah satu-satunya hiburan kami di masa anak-anak, sebagaimana juga kaum bapak di Sumut yang menghabiskan waktu mereka di Lapo Tuak dan ibu-ibu 'ngerumpi di rumah-rumah tetangga demi mencari hiburan.
Bahkan, karena bermain bersama teman-teman di masa kecil itulah yang membuat generasi kami yang lahir tahun 70-an tetap ingat teman-teman masa kecil.
Aku sendiri masih ingat beberapa teman SD dan teman mainku sekaligus, seperti Robinson Simarmata, Elfrida Situmorang, Murni Sinaga, Lisbet Sianturi, Elida Irawaty Saragih, Marli Hutasoit, Rayani Purba, Ringan Pasaribu, Pinondang Sihombing, Laing Beresman.
Ada lagi Johanson Sitanggang, Lisna Sinaga, Resta Sinaga, Forman Simanjuntak, Johanes Nainggolan, Reli Manik, Leris Siahaan, Lamhot Purba, Saurma Lina Simbolon, Jamansen Damanik, Maringan Sinurat, Kamrus Situmorang, dll.
Mereka semua teman main dan sebagian besar juga teman satu sekolah di SDN N0. 094103 Bahtonang. Tak hanya teman, guru-guru kala itu juga kami ingat, seperti Morhalam Saragih, Mansen Sitanggang, Morli Sinaga, Aspita Sinaga, Dermawati Purba, P. Situmorang, S. br. Damanik, Edy Simanjuntak, Sudarman Purba Sigumonrong, dan beberapa guru honor.
Kembali ke masa kanak-kanak kami, mayoritas dari teman-teman di atas kini telah punya anak 1-5 orang, dan mungkin saja sudah ada dari mereka yang telah punya cucu. he he he
Artinya, tak mungkin hanya masa indah di sekolah dasar yang pertama-tama menjadi modalku untuk mengingat mereka. Justru karena mereka juga teman sepermainan, maka aku begitu mudah mengingat nama mereka, bahkan dari mereka ada yang samasekali belum ketemu lagi setelah 25 tahun.
Apa yang kualami hampir tak bisa dipraktikkan saat ini. Alasan pertama, karena kemajuan alat komunikasi yang tak terbendung, dan alasan kedua adalah karena keamanan dan kenyamanan yang sangat mahal saat ini.
Artinya, tak mungkin hanya masa indah di sekolah dasar yang pertama-tama menjadi modalku untuk mengingat mereka. Justru karena mereka juga teman sepermainan, maka aku begitu mudah mengingat nama mereka, bahkan dari mereka ada yang samasekali belum ketemu lagi setelah 25 tahun.
Apa yang kualami hampir tak bisa dipraktikkan saat ini. Alasan pertama, karena kemajuan alat komunikasi yang tak terbendung, dan alasan kedua adalah karena keamanan dan kenyamanan yang sangat mahal saat ini.
Dengan Smartphone anak-anak era kiwari lebih suka di rumah dan bermain bersama barang satu itu. Begitu juga bila mereka kepingin main keluar rumah, maka orangtua mereka yang duluan takut anaknya diculik, terpengaruh narkoba, atau bahaya lainnya.
Lantas media apa yang bisa mengingatkan anak-anak yang lahir tahun 1995 hingga tahun 200-an di masa anak-anak mereka? Paling juga nama permainan di handphone saat mereka masih anak-anak. Artinya anak-anak kekinian itu justru tak punya teman atau begitu mudah lupa dengan teman-teman kecilnya, karena mereka memang tak punya teman bermain.
sumber: BBC |
Maka jangan heran ketika FPI cs begitu mudah mengumpulkan massa hingga ratusan ribu di Jakarta untuk mendemo Ahok sembari ingin menjatuhkan Jokowi.
Hampir pasti, anak-anak muda yang ikut demonstrasi itu rata-rata adalah mereka yang lahir tahun 1995 hingga tahun 2000-an, yang nota bene tak pernah puas bermain di masa kanak-kanak mereka.
Bagi mereka, ajakan demo adalah ajakan kuno untuk bermain bersama, seperti bermain perang-perangan, main bakar-barakan, main presiden-presidenan, bahkan bermain petak umpet sekalian.
Jaman memang berubah dan kita pun turut larut bersama perubahan itu. Hanya satu yang sejak jaman bakekok yang tak pernah berubah, yakni pentingnya uang dalam hidup: Nihil tam munitum quod non expugnari pecunia possit (benteng sekuat apapun dapat dibeli dengan uang).
Posting Komentar