Di titik inilah Demokrasi justru bertentangan dengan ungkapan Vox Populi Vox Dei di atas. Benar saja, karena dalam kutipan Surat yang ditulis oleh Alcuin of York (735-804), EPISTOLAE 166, paragraf 9 selengkapnya berbunyi begini:
“Nec Audienti sunt qui solet docere, vox populi vox dei, cum tumultuositas vulgi semper insanitas proxima est” (Jangan dengarkan orang-orang yang biasa mengklaim bahwa “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan”, karena gegap gempitanya rakyat selalu dekat dengan kegilaan.)
Lantas mengapa seorang politisi pemenang sering berujar bahwa kemenangannya adalah kemenangan rakyat; dan karena suara rakyat adalah suara Tuhan, maka ia menang karena suara Tuhan? Tentu saja. Seperti berkali-kali kutulis, pekerjaan politisi itu memang membolak-balik logika berpikir. Tujuannya tak lain adalah demi tahta dan kuasa.
Dengan cara yang sangat meyakinkan para politisi licin itu selalu menggombal rakyat bahwa bila kemenangannya (dalam pilpres, pilkada) adalah kemenangan Tuhan lewat umatNya.
Di titik inilah kelemahan sistem demokrasi, yakni ketika para calon pemimpin dibiarkan memperjual-belikan kebenaran sebagai milik yang akan ia bagikan kalau ia menang. Kita tahu kata kunci demokrasi adalah (suara) rakyat: dari / untuk / oleh rakyat. Pendeknya, rakyat adalah subyek.
Konsekuensinya:
1. Bila mayoritas rakyat gila, maka pemimpin yang terpilih kemungkinan besar adalah orang gila. Hari-hari ini rakyat Amerika jadi bahan tertawaan dunia, karena memilih Donald J. Trump, orang gila yang bilang anti agama Islam, akan membangun tembok tinggi untuk membatasi warga Meksiko masuk ke negaranya, pun selalu berpikir negatif tentang orang lain.
2. Bila mayoritas rakyat adalah pengagum ritual agamanya hingga tak menyisakan ruang untuk mencintai negaranya, maka kemungkinan besar rakyat akan memilih seorang pemimpin yang rajin sembahyang dan tak peduli kualitas hidupnya.
Maka pemimpin berkualitas seperti Presiden Joko Widodo tak akan dicintai karena tak sholat lima waktu di lapangan terbuka hingga disorot televisi seperti orang-orang FPI.
Maka orang sekaliber Basuki Tjahaja Purnama pasti tak disukai, karena ia mampu menerapkan salah satu pokok ajaran agama, yakni memberangus segala bentuk korupsi, termasuk memberangus kemunafikan kaum agamawan di ibukota negeri.
Akhirnya, dalam sistem demokrasi "gegap gempitanya RAKYAT yang selalu dekat dengan kegilaan" adalah jaminan mutu keberhasilan sebuah bangsa dalam proses pemilihan pemimpinnya.
- Ketika mayoritas rakyat Indonesia larut dalam euforia kemerdekaan, mereka membutuhkan presiden yang mampu membakar semangat mereka. Soekarno pun jadi idola.
- Ketika mayoritas rakyat Indonesia bangkit dan ingin membangun negeri sendiri dalam spirit gotong royong, maka Soeharto dan repelitanya adalah pilihan mereka.
- Ketika mayoritas rakyat ingin merasakan kebebasannya, termasuk dalam mengekspresikan iman pada agamanya, maka Gus Dur adalah pilihan mereka.
- Ketika rakyat iba pada korban Orde Baru dan partainya memenangkan pemilu, maka rakyat mencoba Megawati sebagai representasi Soekarno yang membangkitkan kembali spirit kemerdekaan.
- Ketika semua sendi-sendi kehidupan masyarakat berada di titik ketidakpastian hingga merana dalam keprihatinan, maka rakyat memilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai representasi keprihatinan rakyat Indonesia.
- Ketika rakyat merasa demokrasi harus dikembalikan kepada mereka, maka Jokowi diusung hingga menang, karena mewakili kekuatan rakyat demi membenahi segala bentuk perpecahan yang selama ini dibiarkan.
Memang begitulah demokrasi. Ia terkadang mewakili kewarasan rakyat, kendati lebih sering mewakili kegilaan rakyat itu sendiri. Salam Demokrasi!
Posting Komentar