Saya ngakak saat Gus Dur mengatakan bahwa para santri itu sering menjadikan ayat-ayat suci sebagai bahan candaan. Belum lagi saat berdiskusi tentang ajaran agama, para kyai malah sering memplesetkannya hingga para santri grrrr dan ngakak.
Tapi aneh. Para santri itu tak pernah menyangkal kebenaran ayat-ayat suci yang kadang diplesetkan itu. Justru, kini, para santri itu telah banyak menjadi pejabat, kyai bahkan menjadi masyarakat bisa dengan berbagai profesi dan tetap menjadi Islam yang jauh lebih terbuka, moderat, toleran dan mengamalkan ajaran itu dalam dirinya.
Secara intelektual, mereka ini jauh lebih berpendidikan di bidang agama Islam. Tetapi, masih kata Gus Dur, mereka justru tak pernah merasa sok tahu tentang Islam.
Alumni didikan Pondok Pesantren Gontor telah ribuan, mungkin juga sudah ratusan ribu. Bisa dibilang pesantren ini sangat nJawani, bahkan sangat berwarna Indonesia. Faktanya, hingga kini dikelola oleh adik Gus Dur, pesantren Gontor tetap menghasilkan manusia yang 100% Islam dan 100% Indonesia.
Ungkapan agung dari Mgr. Albertus Soegijapranata, uskup agung Semarang di jaman penjajahan "Jadilah 100% Katolik dan 100% Indonesia" selalu bergema di kalangan umat Katolik.
Maka berbagai hari besar nasional pun selalu dirayakan secara agung di gereja Katolik yang ada di Indonesia. Sebut saja hari kemerdekaan, hari pendidikan, hari pahlawan, dan seterusnya. Semuanya dimasukkan dalam penanggalan liturgi Katolik.
Dengan demikian, seorang Katolik tak pernah membawa-bawa agama ke dalam politik, juga tak berteriak-teriak soal minoritas dan mayoritas saat menjadi pejabat negeri, juga tak pusing dengan soal prosentasi agama di lembaga-lembaga negara.
Anda boleh cek Sejarah, apakah ada menteri, gubernur, bupati atau walikota Katolik yang mengumbar simbol agama dalam pekerjaannya sebagai pelayan masyarakat dan membawa serta para profesional Katolik itu menjadi pejabat inti di daerahnya?
Lagi-lagi kulaitas manusia bukan pertama-tama ditentukan dari mana dia datang atau latarbelakanganya. Kualitas personal itu terbentuk sejak di keluarga, lingkungan pendidikan formal, dan lingkungan sekitarnya.
Ajaran agama oleh karenanya tak lebih menjadi nila plus yang memperkaya karakter personal hingga dia mampu meretas. Entah Anda seorang Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, Khong Hu Cu, atau penganut kepercayaan lokoal, Anda harus kembali pada esensi keindonesiaan Anda.
Jadikan agama itu untuk memperkaya keindonesiaan kita. Sebab, agama lahir untuk menjadikan kita semakin beradab, bukan sebaliknya, ia hadir agar kita saling biadab bahkan saling merusak adab kita masing-masing.
Kalau belum mampu mengamalkan ajaran agamamu dengan baik, maka jangan pernah memasuki wilayah politik, yang oleh Hasto Kristianto disebut sebagai seni mencapai kekuasaan. Bukankah agama justru menghalangi kita dari hasrat menyetubuhi kekuasaan? Nah loe...
Lusius Sinurat
Kalau belum mampu mengamalkan ajaran agamamu dengan baik, maka jangan pernah memasuki wilayah politik, yang oleh Hasto Kristianto disebut sebagai seni mencapai kekuasaan. Bukankah agama justru menghalangi kita dari hasrat menyetubuhi kekuasaan? Nah loe...
Lusius Sinurat
Posting Komentar