Tak salah bila democracy sering diplesetkan democrazy. Bagaimana tidak, ketika memilih calon pemimpin untuk sebuah negara, demokrasi merupakan salah salah satu media cara terbaik, karena melibatkan partisipasi warganya.
Tetapi demokrasi selalu menyisakan kegalauan dan membuka gerbang peperangan antar pendukung calon yang satu dengan calon yang lain.
Inilah yang sungguh terjadi. Tak hanya di Indonesia, tapi juga di negara demokrasi terbesar di dunia, Amerika serikat. Kalau di Indonesia, seorang calon yang potensial dipilih mayoritas warga Jakata hingga memenangkan Pilgub DKI 2017 justru dihadang sebelum Pilkada, maka Pilpres AS, presiden terpilih justru dihadang setelah terpilih. Jadi keduanya sama-sama tidak baik.
Sistem demokrasi pada dasarnya punya tujuan mulia, yakni mengajak keterlibatan warga dalam menentukan siapa pemimpin terbaik untuk mereka. Hanya saja Sistem Demokrasi ini sering melupakan bahwa suara rakyat belum tentu suara kebenaran.
Suara itu bisa saja dibeli, entah prabayar entah pascabayar oleh sang pemimpin yang terpilih, bahkan hilang ditelan bau ketek bila si tukang janji tak menang.
Nyatanya banyak orang salah kaprah tentang adagium "Vox Pupoli Vox Dei" dan menterjemahkannya dengan "Suara Rakyat Suara Tuhan. Sejak kapan suara rakyat memiliki nilai yang sama dengan suara Tuhan?"
Ini sesat. Sistem Demokrasi justru tak boleh mempermainkan unsur suku, agama dan ras dalam penerapannya. Sebab Demokrasi justru tak menjamin bahwa suku, agama, ras dari warga mayoritas pasti menjadi menang.
Posting Komentar