Jokowi dan Ahok telah berhasil mengembalikan politik ke tempatnya semula, tepatnya setelah sekian lama politik dianggap melulu milik politisi.
Benar bahwa dalam waktu singkat, Jokowi tak berhasil mengubah Indonesia sehebat Amerika, Cina atau Rusia. Begitu juga Ahok tak bisa menyulap dengan sekejap Jakarta seperti Singapura, California atau London.
Tentu saja tidak bisa. Keduanya bukan pesulap atau penyihir bermoda jampi-jampi dengan mulut komat-kamit.
Baik Jokowi maupun Ahok memang hanya bekerja menurut pakem konstitusi, sesuatu yang sering diajuhi para pemimpin sebelumnya.
Jokowi dan Ahok memang bersahabat. Persahabatan antar keduanay bisa dibilang sebagai persahabatan politis juga. Tentu, karena keduanya berkenalan dan berjumpa di kancah dan panggung politik pula.
Persahabatan itu bahkan seakan membalikkan logik para penentang Jokowi dan Ahok, yang mengatakan, "Tak ada persahabatan abadi dalam politik". Mungkin saja selama ini kita melihat penghianatan Soeharto kepada Soekarno, SBY kepda Megawati, dst.
Tapi benarkah begitu?
Mungkin kita bisa belajar dari persahabatan Hillary Clinton dan Obama yang pernah mengalahkannya pada konvensi capres partai Demokrat 2008 silam. Juga pertemanan Habibie dan Soeharto, atau persahabatan Gus Dur dengan Megawati, dst.
Artinya, selalu ada kekecualian di dunia ini, termasuk di dunia politik. Persahabatan Jokowi dan Ahok hanyalah salah satu dari sekian banyaknya persahabatan tulus antara para politisi.
Jokowi dan Ahok memang punya kesamaan esensial di bidang politik, yakni kesamaan visi dan misi keduanya dalam membangun Indonesia: bekerja dengan tulus sembari membabat habis segala hal yang selama ini dijalankan dengan akal bulus.
Keduanya ingin menjadikan indonesia negara yang mampu bersaing di dunia internasional dengan cara yang sederhana namun paling sulit, yakni keluar dari kebohongan dan kemunafikan.
Sesederhana itu persahabatan keduanya. Hampir pasti, itu bukan persahabatan seperti dituduhkan para lawan politiknya sebagai persahabatan demi berbagi kekuasaan.
Tapi mengapa banyak yang tak setuju dengan kebijakan yang mereka lakukan?
Itu sih wajar saja. Itu hak mereka. Tak ada pemimpin yang bisa memuaskan semua pihak.
Hanya saja, satu hal yang kita yakini bersama adalah bahwa Indonesia hanya akan menjadi negara besar bila warganya punya tingkat kewarasan dan kesadaran yang tinggi untuk maju bersama pemimpin yang mau kerja keras, tulus, merakyat dan memberi diri bagi warga yang dipimpinnya.
Sayangnya, ibarat berdoa, kita memohon pemimpin bijaksana, jujur dan adil, tetapi ketika Tuhan menjawab doa tersbut kita justru ingin memenjarakan pemimpin yang kita idam-idamkan.
Posting Komentar