Sahabat saya di Semarang suka meledek saya begini. Tentu saja ia bicara bahasa Indonesia dialek Jawa yang sangat medok. Kita sebut saja namanya Wulan.
Wulan : "Abang iki marganya opo?"
Saya : "Sinurat"
Wulan : "Nama ne abang opo?"
Saya : "Lusius"
Wulan : "Abang Katolik toh?"
Saya : "Ya"
Wulan : "Lha, nama baptis'e abang opo?"
Saya : "Lusius"
Wulan : "Loh. Tadi Lusius itu namanya. Kok nama baptis karo nama abang sama? Berarti abang gak punya nama dong? ha ha ha "
Saya : "Iya juga ya ?!?" (baru nyadar gue gak punya nama)
Wulan memang mengenal cukup banyak orang Batak, terutama yang kebetulan beragama Katolik dan Kristen Protestan. Temannya ada yang bernama Yohanes Pandapotan Simamora, dan Parulian Marcelinus Sibarani, dan sejenisnya.
Maka wajar saja dia bingung ketika saya tidak punya nama "batak" seperti yang lain. Mungkin dia berharap nama lengkap saya menjadi Lusius Namargota Sinurat atau semacamnya.
Bagi Wulan saya itu tak punya identitas pribadi, selain seorang Batak bermarga Sinurat dan seorang Katolik dengan nama baptis Lusius. Kasihan juga saya ya? Ha ha ha ha....
*****
Aku teringat kisah nyata di atas, lalu pikiran nakalku mulai iseng tentang persoalan nama ini. Anda boleh percaya atau tidak.
Tapi banyak orang dengan kasus seperti saya, di mana nama tak lagi mewakili 3 identitas ini: pribadi, suku dan agama. Dulu seseorang memberi nama kepada anaknya berdasarkan ketiga identitas tersebut.
Sebaliknya, hari-hari ini nama seseorang tak selalu menggambarkan ketiga identitas itu. Kalau dulu nama Muhammad, Abdullah, Syafe'i, dst selalu identik dengan Islam, kini justru sudah banyak digunakan agama selain Islam. Bahkan ada pastor dengan namanya Pastor Muhammad Fadjar Pr di Jakarta.
Begitu juga nama Anastasia, Sylviana, Christian, Lucia, Fransisca, Imelda, Ignatius, Paulus, dst yang biasanya identik dengan umat Katolik justru sudah digunakan oleh agama non Katolik seperti, Budha, Hindu, bahkan teman-teman beragama Islam. Lihatlah nama cawagubnya si Agus Harimurti. Namanya Sylviana Murni.
Dulu, nama sebagai identitas itu penting, dan tetap mewakili ketiga identitas yang telah saya sebut. Dalam tradisi Karo misalnya, pemberian nama seorang anak itu spontan. Konon katanya (maaf kalau saya salah), ketika seorang bayi lahir dan ibunya melihat Tomat, Kursi, Meja, Batu, atau benda apa saja, maka nama salah satu benda-benda itu akan menjadi nama bayinya.
Maka saya tak heran bila almarhum guru Antrolpologi SMA saya bernama Stevanus Batu Ginting. Atau sahabat saya di Medan dengan mana Batu Tarigan, Bengkel Sembiring, Pintu Depari, dst.
Sayangnya kebiasaan itu malah sudah tak dijalankan lagi, termasuk di desa-desa. Nama yang diberi untuk bayo Karo justru sudah kebarat-baratan atau kecina-cinaan, seperti Bryanta Tarigan, Marcopolo Tarigan, Jerry Chan Bangun, Jackie Lie Karokaro, dst.
*****
Masih soal nama, ada lagi yang lebih lucu. Sekitar tahun 2009 silam, saat bertugas di Medan saya mau cukur rambut dan ketemulah sebuah tempat tukang pangkas dengan spanduk "PANGKAS MUSLIM SEMBIRING".
Nah, karena di Sumut ini rumah makan juga sering ikutan beragama, seperti Rumah Makan Islam, dst, maka saya kira orang yang boleh dicukur di sana hanya teman-teman beragama Islam. Nyatanya, Pak Muslim tadi justru seorang Kristen dari gereja GBKP.
Pada tahun 2006 saya bertugas di Nias dan di sana saya menemukan nama yang aneh-aneh. Ada namanya Derita Zebua dengan nama panjang, "Hatiku Menderita Karena Engkau Zebua". Belum lagi nama yang rada miring yang tak mungkin diungkap di sini.
Rasanya kita semua masih sepakat bahwa nama adalah harapan. Maka, seorang Batak Toba memberi nama Lamhot (dari kata lam=semoga dan hot=teguh) kepada seoeang bayi, maka si orang tua berharap anak itu kelak menjadi anak yang semakin teguh dalam pendirian, dan semacamnya.
Tapi, lagi-lagi kebiasaan itu sudah mulai pupus. Tentu tanpa bermaksud menyalahkan IT, ketelanjangan informasi di dunia maya turut memengaruhi kebiasaan atau tradisi itu. Maka lahirlah orang Batak dengan nama Nancy Sinurat, Julie Hillary Simorangkir, dst.
Dalam kaitan nama dan identitas agama ada juga kisah lucu yang ingin saya bagikan. Saat bulan puasa dua tahun lalu, saya takut sekali mengajak seorang teman yang baru kukenal untuk makan siang.
Selain karena hari itu sedang bulan puasa, juga karena nama teman baru itu identik dengan nama Arab dan Islam, Abdul Rozak Sudarmanto. Betapa malunya saya karena setelah saya konfirmasi, Bang Abdul tadi rupanya seorang Budha.
Begitu juga, tahun lalu di Simalungun, saya dengan pede mengajak seorang teman baru bernama Johanes Purba untuk makan BPK (Babi Panggang Karo), eh taunya di seorang Islam sejak kecil. Pastinya aku merasa sangat bersalah atas ajakan saya itu.
***
Inilah kenyataan yang ada di lingkungan kita.
(1) Simpulan pertama. Nama tak selalu mewakili identitas yang si empunya nama. Nyatanya saya justru bingung ketika seorang anak Batak, asli Onan Runggu, Pulau Samosir malah diberi nama Darmono Harianja. Bukankah nama "Darmonbo" ini sangat nJawani?
Dulu, saya pikir nama Butet itu gak ada, karena Butet hanyalah sebutan untuk bayi perempuan dalam masayarakt Batak Toba. Tapi belakangan setelah tinggal lama di Jawa dan menemui seorang seniman bernama Butet Kertarejasa dan Butet-Butet lain di Jawa, maka lama-lama saya juga mulai terbiasa menyapa si Butet "Pak Butet" atau "Mas Butet".
Saya sadar bahwa dalam pemahaman seorang Batak Toba, seorang bayi perempuan tak mungkin dipanggil bapak.
(2) Simpulan kedua. Tak semua identitas agama bertautan langsung dengan nama seseorang. Artinya tak semua bernama Abdullah, Ba'asyir, Zakir, dst berasal dari Arab dan beragama Islam. Karena ada orang bernama Abdullah Joko Pramono yang asli Jawa dan beragama Protestan, atau Fransiskus Xaverius Ba'asyir yang asli Katolik Jawa.
(3) Simpulan ketiga. Tak semua nama mengandung harapan di dalamnya. Fakta mengatakan, terutama di jaman ini, bahwa banyak orang memberi nama anak justru hanya agar terlihat keren dan 'jauh' dari identias kesukuannya.
Para artis dan orang-orang berpendidikan sangat doyan memberi nama bernuansa Barat, Jepang atau Korea untuk anaknya. Sebut saja Gisela Prananta Bervrick Stovski, dst.
*****
Dunia memang semakin hari justru semakin asyik berdandan dalam kemajuan teknologi yang ditemukannya. Tetapi satu hal yang paling menarik dari kisah-kasih di atas adalah perubahan paradigma berpikir dan bertindak.
Dengan bergesernya pola pemberian nama, maka kita serentak juga digiring menjadi orang yang lebih manusiawi. Tentu saja ebab kita harus memperjelas identitas orang yang baru kita kenal, agar tak salah memperlakukannya. Dan itu berarti kemajuan teknologi juga sangat positif bagi pergaulan sosial.
Bagaimana tidak, seperti berbagai pengalaman saya di atas, kita tak mau terburu-buru mengambil kesimpulan yang salah. Hanya karena namanya Abdul Rizki dan kita tak melihatnya pergi Sholat, maka kita tak boleh menyimpulkan bahwa dia seorang Islam yang tidak taat.
Begitu ketika orang bernama Cyrillus tidak ke gereja pada hari Minggu lantas kita menyimpulkan bahwa dia seorang Katolik tapi tak taat beragama.
Sebab, bisa jadi Abdul Rizki itu seorang Hindu dan Cyrillus itu justru seorang Kong Hu Chu.
Singkatnya, kemajuan IT, terutama lewat hadirnya media sosial pada kenyataannya turut mengubah paradigma atau pola pandang kita kita. Buktinya, kita tak lagi serta mereta tertawa bila mendengar seorang penyanyi dangdut bernama Julia Perez, Kristina, dst. Toh kita akan terbiasa toh?
Begitulah ketelanjangan informasi secara positif juga mengubah pola pendekatan kita terhadap yang lain.
Maka, mari kita jadikan perubahan pola "pemberian nama sebagai identitas" ini menjadi sarana untuk lebih mengenal sesama, terutama saat kita berkenalan dengan orang-orang baru di dekat kita.
Akhirnya, dari penjelasan panjang lebar di atas saya hanya mau mengatakan bahwa kendati "tanpa nama selain nama baptis dan marga batak", nama Lusius Sinurat tetaplah sosok manusia orisinal.
Setuju? Ha ha ha...
Posting Komentar