Ilustrasi: Koleksi Pribadi |
Di titik inilah hukum adat berlaku. Karena saya seorang Batak Toba, maka saya coba mengulik persoalan ini dari sudut pandang budaya Batak Toba.
Sejak kecil, sebagai orang Batak, orangtua saya selalu mengingatkan falsafat hidup "Dalihan Natolu" ini : "Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru."
(1) Somba Marhulahula: hormat kepada keluarga pihak Istri,
(2) Elek Marboru: sikap membujuk/mengayomi kaum wanita, dan
(3) Manat Mardongan Tubu : bersikap hati-hati kepada saudara semarga.
Tentu saja nasihat ini berlaku spesifik dalam pergaulan saya dengan sesama Batak. Kendati dalam pemahaman yang lebih luas, nasihat ini juga bisa diterapkan dalam pergaulan dengan masyarakat di luar Batak. (Bagi mereka yang kawin campur dengan non-Batak pasti lebih tahu hal ini he he he).
Kembali pada Dalihan Natolu tadi. Rupanya ketiga falsafah tersebut juga berlaku dalam persahabatan dengan alam: sebagai manusia kita diajak untuk selalu
(1) tunduk hormat dihadapan Sang Ada (Mulajadi Na Bolon),
(2) menjaga/melestarikan semesta dan segala isinya, serta
(3) mencinta sesamanya.
Lantas, gimana dong kalau seseorang melanggar 3 falsafah di atas? Hukum Adat tentunya memberlakukan sistem reward and punishment.
Lantas, gimana dong kalau seseorang melanggar 3 falsafah di atas? Hukum Adat tentunya memberlakukan sistem reward and punishment.
Kalau salah, ya dihukum.Tapi adakah cara yang bisa dilakukan agar tidak mendapat hukuman? Pasti ada. Ini dia....
Cara (1) Bila terjadi pelanggaran terhadap 3 falsafat di atas, misalnya salah satunya tak hormat pada keluarga pihak istri. Maka, jalan keluarnya agar tidak dihukum adalah: Pihak yang bersalah ditemanai oleh keluarganya (1) datang kepada keluarga pihak istri untuk meminta maaf, (2) sembari membawa jenis makanan tertentu, dan (3) menjamu pihak tersakiti.
Cara (1) Bila terjadi pelanggaran terhadap 3 falsafat di atas, misalnya salah satunya tak hormat pada keluarga pihak istri. Maka, jalan keluarnya agar tidak dihukum adalah: Pihak yang bersalah ditemanai oleh keluarganya (1) datang kepada keluarga pihak istri untuk meminta maaf, (2) sembari membawa jenis makanan tertentu, dan (3) menjamu pihak tersakiti.
Lunas? Belum tentu. Tergantung pihak yang disakiti. Tetapi setidaknya, niat baik dan pengorbanan dari pihak yang bersalah tadi bisa menjadi awal baru untuk membangun persahabatan yang retak.
Cara (2) Sebelum terjadi pelanggaran, seorang Batak biasanya selalu memulai pembicaraan adat dengan kata "Santabi" (mohon izin dengan hormat, tabik, mohon maaf). Cara kedua ini biasanya lebih disukai. Selain bersifat antisipatif, juga karena dipandang sebagai ungkapan "ketidaksempurnaan" manusia. Toh semua orang pasti khilaf atau akan khilaf.
Maka tak mengherankan bila seorang Raja Parhata (MC, protokol) - dalam ritual-ritual adat - hampir pasti selalu memulai kata "santabi" sebelum menyampaikan tujuan dari pihak-pihak yang ia wakili.
***
Rupanya, terkait dengan "permintaan maaf" budaya-budaya kita sudah memilik tatanan tersendiri, di mana PERMINTAAN MAAF itu bisa ditempatkan:
(1) di belakang atau setelah perbuatan salah yang mendahuluinya; atau
(2) di awal sebagai bentuk antisipasi bila ia melakukan kesalahan setelahnya.
Pengertian ini juga selaras Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), yang mengartikan kata "maaf" sebagai (1) ungkapan permintaan ampun atau penyesalan, (2) ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu.
Konsekuensinya, hukuman hanya akan dijatuhkan kepada seseorang yang telah melakukan seseorang, kendati ia telah meminta maaf sesudahnya.
Sebaliknya, siapa pun akan terhindar dari hukuman bila meminta maaf sebelum ia mengatakan atau melakuan sesuatu. Kelompok yang disebut terakhir ini justru akan mendapatkan pengampunan atau pemakluman, dan bukan hukuman.
Sekarang terserah Anda mau pilih cara yang mana !
Lusius Sinurat
Posting Komentar