Percayalah, kompetisi di bidang politik, terutama dalam konteks Pilkada yang paling tepat dijalankan saat ini bukanlah politik 'saling menjatuhkan', atau politik "calon yang aku dukung 100% benar dan yang aku tentang 100% salah"!
Media internet, khususnya Media Sosial justru sudah menghilangkan stigma 'kediktatoran' model di atas. Hati-hati menjadi pendukung fanatik hingga mendukung calonnya dengan logika terbalik.
Bersiaplah menerima keadaan di mana calon yang Anda anggap benar 100% tadi akan dibuli netizen. Juga jangan terlalu mengumbar kelemahan calon yang tidak Anda dukung, karena media sosial yang sama akan segera mengunggah berbagai bukti sebaliknya.
Soal benar atau tidak benar, soal berdasar fakta atau bersifat hayalan tak ada bedanya di media sosial. Bukankah berbagai aplikasi yang dilahirkan oleh internet memang selalu mampu membalikkan kenyataan?
Dengan aplikasi edit video, edit gambar, dan berbagai aplikasi sejenisnya akan segera menghantam apa pun yang Anda posting. Tak peduli di mana Anda memposting tulisan Anda.
Mau di media sosial dengan ruang postingan nyaris tak terbatas(Facebook, G+, Medium, Tumblr, dan sejenisnya) atau dengan ruang postingan ringkas (Twitter dan sejenisnya), atau malah dengan ruag postingan hanya berupa gambar (Instagram, Path dan sejenisnya) itu tak jadi soal.
Ketika Anda mengatakan "si calon X tak layak jadi gubernur, dan si claon Y sangat layak" maka bersiaplah dengan komentar yang mengatakan sebaliknya. Sebab, media sosial adalah ruang perdebatan tanpa kesimpulan.
Belum lagi, politik itu 'seni menggapai kekuasaan', maka seluruh postingan bertema politik di media sosial hampir pasti akan memuat berbagai pertentangan konsep, polemik dan cara-cara negatif sekalipun demi mencapai kekuasan itu.
Pastinya tak pernah ada kesimpulan dari perdebatan itu. Di titik inilah, khususnya dalam konteks politik, media sosial telah melahirkan berbagai kelucuan yang tak lucu, logika yang tidak logis, kebohongan yang jujur, dst.
Media sosial pun telah menjadikan persaingan politik sebagai tragedi. Tragedi itu tampak pada hilangnya batasan-batasan jurnalistik (Kode Etik Jurnalistik) yang telah diterapkan sejak jaman Aristoteles.
Ya, ini sebuah tragedi, karena hanya di media sosial Anda mentertawakan kesedihan dan menangisi kegembiraan. Kita begitu lepas bebas mentertawakan kelemahan seeorang, menikmati ketelanjangannya, menyebar dosa-dosanya, mengusik masa lalunya, bahkan secara masfik kita memfitnahnya.
Lagi, dalam bentangan persaingan politik, media sosial adalah Surga dan Neraka sekaligus. Media sosial adalah tempat bagi tangisan dan kegembiraan secara bersamaan serta tempat di mana kebaikan dan kejahatan tampil bias tanpa batas.
Anehnya, kita menyukai segala bentuk survey, terutama survey yang memenangkan calon kita. Juga kita sangat menanti berbagai postingan pro calon kita hingga menjadi, apa yang disebut dengan. "Viral".
Viral atau dalam kamus Oxford diartikan dengan "relating to or caused by a virus" (berhubungan dengan penyakit yang disebabkan oleh virus) erat terkait dengan postingan yang menular/menyebar secara kilat hingga populer di kalangan pengguna internet pada masa tertentu. Postingan itu bisa saja berupa opini tertulis, atau dalam bentuk foto, video, atau karya tulis lain.
Ini lantas berarti bahwa postingan viral tak berhubungan dengan muatan positif atau negatif di dalamnya. Misalnya, berita tentang "Ahok Menghina Islam" atau "Hillary Clinton, Capres Pembohong", "Donald Trump Monster Bagi Wanita", dan berita sejenis.
Postingan viral adalah dambaan setiap calon, khususnya pendukungnya. In seperti viral marekting yang lagi trend di bisnis. Viral marketing adalah strategi dan proses penyebaran informasi suatu produk kepada masyarakat secara meluas dan berkembang melalui komunikasi elektronik.
Produk dalam politik adalah isu yang dibangun oleh tim pemenang yang tujuannya untuk menjatuhkan lawan sekaligus menaikkan nilai jagoannya, Sama seperti dalam bisnis, virtual marketing di bidang politik pun dilakuan dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan kadang sangat masif.
Di Fesbuk mereka membagikan postingan tadi ke jutaan 'teman sosial' atau 'lawan sosial' mereka. Di twitter mereka akan membangun sebuah tagar# yang berguna bagi pendukung dan lawan politik untuk berdebat kusir. Kalau sudah viral pasti televisi yang haus berita pasti tertarik mewartakannya. Begitu pikiran tim pemenang itu.
Kelemahan dari kompetisi model media sosial ini hanya satu: kemenangan yang mereka raih sangat pendek umurnya. Karena dalam hitungan detik, dan paling lama sehari, yang lagi tranding tadi akan tertimpa oleh hal lain yang lebih tranding. Artinya hari ini bisa jadi "Anti-Ahok" jadi tranding, tapi 1 jam kemudian justru "Dukung Ahok" yang menjadi tranding.
Itu lantas berarti media sosial tetaplah sekedar media, karena pemenang sesungguhnya dari kompetisi Pilkada, misalnya Pilkada DKI, adalah para pengguna media yang tetap berpikir logis disaat media sosial dipenuhi hal-hal yang tidak logis, mampu menjaga kesucian hatinya ketika kelaknatan memenuhi media sosial, dan tetap menjadi diri sendiri disaat banyak pengguna media lebih memilih menjadi orang lain yang ia idolakan.
Pendeknya, sang pemenang Pilkada DKI pada akhirnya bukanlah jagoan yang paling banyak diliput, melainkan sang jagoan yang tetap berusaha jujur pada dirinya, tak berupaya menjegal dan menjagal lawannya dengan alasan yang tidak masuk akal di media sosial, dan bekerja tanpa peduli diliput atau tidak.
Jadi, para netizen, tetaplah waras dan bernas. jangan mudah terkesima oleh isu postifi dan murka oleh isu negatif sang jagoan Anda.
Akhirnya, jadilah pendukung yang RASIONAL, yang secara konsisten berjuang bagi calon yang didukung tanpa menafikan kekurangannya. Sebab dengan cara demikian, Anda sendiri juga mengalami kemajuan dalam hal berutur, berpikir, dan berlaku sebagai manusia normal.
Posting Komentar