"Jolo sinukun marga ase nbinoto partuturan" (makanya tanya dulu marganya apa supaya gak salah memanggil seseorang) adalah filosopi pergaulan masyarakat Batak.
Sebagian besar orang muda, terutama yang hidup di tano sileban dan tano parserahan (perantauan) memang agak kurang batak dalam hal ini.
Maksudnya dalam hal "martutur" dan "martarombo" seperti ditututrkan di atas. Akibatnya banyak dari Batak perantau itu tak mampu menempatkan diri mereka alam 3 Posisi Dalihan Natolu : sebagai Dongan Tubu? Hula-hula? atau Boru ?.
Maka jangan heran ketika sistem partuturan ini bisa hilang perlahan. Apalagi menyangkut perkawinan multi kultural dan multi religius.
Nyatanya cara orang Batak beragama Kristen memahami kebatakannya sangat berbeda dengan cara Batak Islam memahami kebatakannya. Begitu juga dengan semakin banyaknya orang batak kehilangan identitasnya sebagai Batak.
Soal identitas marga ini, saya sering menemukan kenyataan di Jakarta dan Pulau Jawa secara umum di mana orang batak tak lagi mencantumkan marganya.
Dalam berbagai Pelatihan dan Retret yang saya pimpin sering orang datang kepada saya dan mengaku sebagai Batak. Saya tidak tahu dari sudut mana mereka mengatakan diri sebagai orang Batak, karena saya tak melihat ada marga mereka di absensi.
Fakta itu seakan menegaskan betapa identitas kultural, dalam hal ini kebatakan sesorang pada akhirnya bukan lagi ditentukan apakah ia mencantumkan marga dibelakang namanya atau malah tidak samasekali.
Identitas itu rupanya cukup pada Pengakuan bahwa "Batak do au. Sinurat do margakku" (Aku ini seorang batak. Asli dan margaku Sinurat).
Pengakuan model ini juga diterima masyarakat batak juga. Kalau tidak percaua, terutama di tataran politik, persisnya dalam pesta demokras, banyak orang non batak pun mengaku sebagai batak, dan sudah manuhor (membeli) marga. Anehnya, tak satu pun orang Batak mengatakan di sebagai sileban (orang asing).
Tentu saja. Karena Batak tak mengenal sistem feodalisme, dan sistem kerajaan di Batak bukan seperti di daerah lain. Artinya, masyarakat Batak tak mengenal strata sosial.
Tak heran bilan situasi ini sering dimanfaatkan dengan apik oleh para kontestan alias calon pemimpin daerah, anggota legislatif, bahkan presdien sekali pun.
Anda tahu, sistem marga dan pengelompokan marga-marga Batak adalah salah satu media pemecah suara sekaligus sebagai penarik suara. Maka, jangan heran bila saat Pilpres, Pilgub, Pilwalkot, pilbup, pildes, dan pemilu sekalipun secara nyata sering memainkan "kelemahan" sekaligus "kekuatan" masyarakat Batak ini.
Bagi orang asli bukan batak (non-Batak) cara ini dijamin sangat efektif dan efisien: pegang marga itu sumbang sejumlah uang dan beri mereka oleholeh, maka maka dijamiun suara mereka akan ke Anda.
Lagi, cara ini sangat efektif untuk memecah suara orang batak yang memang gampang dikelompokkan berdasarkan marga atau kelompok marga mereka.
Inilah kelemahan "marga" dalam sistem perpolitikan, khususnya dalam pesta demokrasi. Orang batak memang selalu bangga dengan kebatakannya, tetapi selalu meras lebih bangga dengan dongan tubu (pria yang yang semarga), hula-hula (semarga dengan ibu) dan boru (perempuan yang semarga dengannya).
Ini yang mengakibatkan banyak pejabat publik di tanah batak justru bukan orang batak itu sndiri.
Bagaimana tidak... Ntar kalo Sinurat yang jadi gubsu, misalnya, eh sihombing, Tamba, Simaanungkalit gak bakal mudah terima, kecuali mereka yang punya Tulang bermarga Sinurat.
Begitu selanjutnya.
#AdaAdaSaja #Amangtahe
Lusius Sinurat
Posting Komentar