Foto: Kondisi kota Medan saat hujan (sumber: internet) |
Beginilah pendidikan di kota Medan berjalan dalam kebisingan. Tahun 2009 yang lalu saya pernah berbicara di salah satu SMA Negeri di Kota Medan. Tempatnya di ruang kelas, yang hanya berjarak 10 meter dari jalan raya.
Juga beberapa kali mendampingi mahasiswa Katolik (KMK) USU disamping gereja yang kemarin nyaris meledak karena bom itu. Desing mesin, rintihan klekson, dan sayup-sayup terdengar kata "Pinggir" menjadi penghias setiap pertemuan kami.
Baik di ruang kelas SMA Negeri (saya lupa persis negeri berapa) tadi, maupun di aula terbuka gereja St. Yosep Jl Dr. Mansyur tadi tak ada pengeras suara. Tentu saja. Karena kota ini tak butuh pengeras suara.
Rasanya tiap kerongkongan manusia di kota ini sudah dianugerahkan Tuhan sepasang speaker di tenggorokannya. Maka ketika yang terbiasa bicara dengan volume standar, mereka akan serentak berteriak, "Ha... apa?" atau "Agak keraskan suaramu!"
Untuk menyampaikan pesan kepada orang di kejauhan, orang Medan biasanya malas berjalan dan menemui orangnya secara langsung. Dengan modal sepasang speaker tadi, mereka cukup memanggil orang itu. Tentu sambil teriak. Aneh, tak ada orang yang merasa terganggu karenanya.
Tapi jangan bilang mereka itu orang Batak. Tidak. Semua suku ada di Medan, dan semuanya mempunya tingkat desibel speaker yang kurang lebih sama tinggi.
Anda tak akan bisa membedekan siapa Batak siapa Jawa di kota ini. karena semuanya justru menggunakan bahasa Indonesia yang sama, "Bahasa Medan". Itu tadi, mereka akan merasa direndahkan bila tahu bahasa daerah.
Juga tak semua orang sumatera utara sama dengan orang Medan. Itu beda. Kami yang lahir dan besar di daerah Raya Kahean, Kabupaten Simalungun, misalnya sudah terbiasa dengan bahasa yang mendayu-dayu, penuh irama, dan menggunakan volume standar saat bicara. Artinya kami pun selalu terkejut mendengar orang Medan bicara.
Lantas apa hubungannya pendidikan anak dan kaum muda dengan kebisingan tadi?
Anda tahu di USU, Unimed, Unika, UN-HKBP, Unprim, Metodhis dan semua kampus lain mahasiwa-mahasiswinya justru didominasi orang luar kota Medan. Juga jangan heran ketika mahasiswa terbaik dan menonjol biasanya justru yang berasal dari desa-desa di sumatera utara ini.
Mengapa? Karena orang Medan selalu merasa diri orang kota, dan oleh karenanya mereka selalu mengatakan tak tahu bahasa daerah, kecuali kata-kata hinaan dan celaan. Itu sih mereka hafal semua.
Rasanya tiap kerongkongan manusia di kota ini sudah dianugerahkan Tuhan sepasang speaker di tenggorokannya. Maka ketika yang terbiasa bicara dengan volume standar, mereka akan serentak berteriak, "Ha... apa?" atau "Agak keraskan suaramu!"
Untuk menyampaikan pesan kepada orang di kejauhan, orang Medan biasanya malas berjalan dan menemui orangnya secara langsung. Dengan modal sepasang speaker tadi, mereka cukup memanggil orang itu. Tentu sambil teriak. Aneh, tak ada orang yang merasa terganggu karenanya.
Tapi jangan bilang mereka itu orang Batak. Tidak. Semua suku ada di Medan, dan semuanya mempunya tingkat desibel speaker yang kurang lebih sama tinggi.
Anda tak akan bisa membedekan siapa Batak siapa Jawa di kota ini. karena semuanya justru menggunakan bahasa Indonesia yang sama, "Bahasa Medan". Itu tadi, mereka akan merasa direndahkan bila tahu bahasa daerah.
Juga tak semua orang sumatera utara sama dengan orang Medan. Itu beda. Kami yang lahir dan besar di daerah Raya Kahean, Kabupaten Simalungun, misalnya sudah terbiasa dengan bahasa yang mendayu-dayu, penuh irama, dan menggunakan volume standar saat bicara. Artinya kami pun selalu terkejut mendengar orang Medan bicara.
Lantas apa hubungannya pendidikan anak dan kaum muda dengan kebisingan tadi?
Anda tahu di USU, Unimed, Unika, UN-HKBP, Unprim, Metodhis dan semua kampus lain mahasiwa-mahasiswinya justru didominasi orang luar kota Medan. Juga jangan heran ketika mahasiswa terbaik dan menonjol biasanya justru yang berasal dari desa-desa di sumatera utara ini.
Mengapa? Karena orang Medan selalu merasa diri orang kota, dan oleh karenanya mereka selalu mengatakan tak tahu bahasa daerah, kecuali kata-kata hinaan dan celaan. Itu sih mereka hafal semua.
ilustrasi: semuanya kok mirip ya? |
Kenyataan ini rada mirip dengan orang Jakarta yang selalu bangga mengatakan, "Gue asli kelahiran Jakarta. Gue samasekali kagak ngerti loe ngomong apaan, Pake bahasa manusia aja dong!" Kesombongan model ini pun telah merasuki anak-anak dan kaum muda di Medan. Di sekolah anak-anak lemah, apalagi dari kampung akan dikompas (istilah orang Medan untuk "dipalak") oleh orang Medan.
Tak hanya cowok. Cewek pun sama. Tentu Anda masih ingat seorang siswi SMA yang pernah memarahi polisi hanya karena ia dan teman-temannya dihadang saat pawai kelulusan sekolah. Juga baru-baru ini, bagaimana seorang cewek di Binjai menampar supir angkot yang secara tak sengaja nyaris menyerempet dirinya.
Pertanyaannya, apakah kekerasan di jalan raya, seperti kecelakaan lalulintas, begal, kebut-kebutan; atau maraknya begal dan perang antar ormas di Medan merupakan buah dari pendidikan keluarga?
Mungkin butuh penelitian dari para profesor pendidikan Unimed untuk menelaahnya. Kenyataannya, secara kebetulan, saya pernah menyaksikan beberapa anak-anak SD di kota ini berantem layaknya anak SMA atau mirip dikit dengan mahasiswa Nomensen dan Unika yang suka demo di era Reformasi dulu.
Di kelas tak jarang juga siswa-siswi berani melawan guru dan mengerjainya secara kompak. Bahkan, kalau Anda masih ingat, beberapa bulan lalu ada ibu dosen yang dibunuh mahasiswanya sendiri.
Lantas, apakah kebisingan tadi memiliki nilai positif bagi dunia pendidikan, terutama bagi si anak sendiri? Mungkin secara langsung tidak, karena pendidikan justru anti kekerasan. Tetapi secara sosilogis, anak-anak Medan selalu siap merantau kemana saja dan daya tahannya tinggi.
Di semarang saya punya teman, asli anak Medan. Kendati badannya relatif kecil dan ceking, tetapi ia adalah bos debt collector yang disegani oleh anggotanya yang orang lokal. Jasanya bahkan sering digunakan oleh beberapa bank pemerintah dan bank swasta.
Sungguh, anak Medan emang nekat dan edan, bahkan dikenal tak takut mati. Mahasiswa contak-contek skripsi biasa. Dosen bikin desertasi dengan modal ganti judul saja sering terjadi. Kampus dengan sistem manajemen ala dinasti atau model kerajaan marga atau kesultanan agama jamak terjadi.
Hebatnya orang Medan tak takut siapa pun, kecuali takut pada keberaniannya. Ya, keberaniannya menjadi anak Medan.
Sayangnya, semua itu hanya streotype saja. Buktinya, tak satu pun orang Medan yang protes dengan kondisi jalan yang penuh lobang dan tanpa got/parit. Juga semua orang hanya mengeluh di medsos disaat kotanya disulap dengan gelap gulita oleh PLN?
Bisa jadi karena, sejak kecil ia telah dididik, "Urusilah urusanmu sendiri. Jangan kau urusi urusan orang lain!"
Amang tahe...
Lusius Sinurat
Tak hanya cowok. Cewek pun sama. Tentu Anda masih ingat seorang siswi SMA yang pernah memarahi polisi hanya karena ia dan teman-temannya dihadang saat pawai kelulusan sekolah. Juga baru-baru ini, bagaimana seorang cewek di Binjai menampar supir angkot yang secara tak sengaja nyaris menyerempet dirinya.
Pertanyaannya, apakah kekerasan di jalan raya, seperti kecelakaan lalulintas, begal, kebut-kebutan; atau maraknya begal dan perang antar ormas di Medan merupakan buah dari pendidikan keluarga?
Mungkin butuh penelitian dari para profesor pendidikan Unimed untuk menelaahnya. Kenyataannya, secara kebetulan, saya pernah menyaksikan beberapa anak-anak SD di kota ini berantem layaknya anak SMA atau mirip dikit dengan mahasiswa Nomensen dan Unika yang suka demo di era Reformasi dulu.
Di kelas tak jarang juga siswa-siswi berani melawan guru dan mengerjainya secara kompak. Bahkan, kalau Anda masih ingat, beberapa bulan lalu ada ibu dosen yang dibunuh mahasiswanya sendiri.
Lantas, apakah kebisingan tadi memiliki nilai positif bagi dunia pendidikan, terutama bagi si anak sendiri? Mungkin secara langsung tidak, karena pendidikan justru anti kekerasan. Tetapi secara sosilogis, anak-anak Medan selalu siap merantau kemana saja dan daya tahannya tinggi.
Di semarang saya punya teman, asli anak Medan. Kendati badannya relatif kecil dan ceking, tetapi ia adalah bos debt collector yang disegani oleh anggotanya yang orang lokal. Jasanya bahkan sering digunakan oleh beberapa bank pemerintah dan bank swasta.
Sungguh, anak Medan emang nekat dan edan, bahkan dikenal tak takut mati. Mahasiswa contak-contek skripsi biasa. Dosen bikin desertasi dengan modal ganti judul saja sering terjadi. Kampus dengan sistem manajemen ala dinasti atau model kerajaan marga atau kesultanan agama jamak terjadi.
Hebatnya orang Medan tak takut siapa pun, kecuali takut pada keberaniannya. Ya, keberaniannya menjadi anak Medan.
Sayangnya, semua itu hanya streotype saja. Buktinya, tak satu pun orang Medan yang protes dengan kondisi jalan yang penuh lobang dan tanpa got/parit. Juga semua orang hanya mengeluh di medsos disaat kotanya disulap dengan gelap gulita oleh PLN?
Bisa jadi karena, sejak kecil ia telah dididik, "Urusilah urusanmu sendiri. Jangan kau urusi urusan orang lain!"
Amang tahe...
Lusius Sinurat
Posting Komentar