ilustrasi: Tumblr |
Dalam pemahaman terbatas, terdapat dua jenis orientasi manusia dalam hidupnya, yakni "mereka yang berorientasi pada dunia" (selanjutnya disebut orang duniawi) dan "mereka yang berorientasi pada surga" (selanjutnya disebut orang surgawi).
Bahwa ada orang memiliki kedua orientasi ini secara bersamaan bisa saja, tetapi toh selalu ada kecenderungan yang lebih dominan.
Nah, keberadaan dua orientasi ini adalah demi menjaga keseimbangan semesta. Ibarat Yin dan Yang dalam filsafat Konfusianisme. Baik Yin maupun Yang adalah dua eksistensi yang saling bertentangan, tetapi serentak keduanya tak terpisah. Artinya, orang duniawi tak akan pernah seiring sejalan dengan orang surgawi, tetapi baik yang duniawi maupun yang surgawi itu justru tak terpisahkan. Lagi-lagi, relasi ini terjalin demi menjaga keseimbangan.
Keterpisahan dan kesatuan antara Yin dan Yang itulah yang mewarnai, bahkan membentuk kehidupan kita. Namun, apa yang terjadi ketika orang surgawi tadi malah ingin menjadi seperti orang duniawi, dan sebaliknya?
Apa pula yang akan terjadi ketika mereka yang tak pernah berdoa justru tiba-tiba jadi pendoa, dan ketika pendoa justru ingin menikmati cara hidup si pendosa? Faktanya, hal ini terjadi hic et nunc. Saat ini dunia sedang timpang dan tak seimbang. Dunia sedang terbalik. Bagaimana tidak, mereka yang menyebut diri sebagai orang surgawi malah bekerja persis seperti orang duniawi.
Ketidakseimbangan itu pun semakin tak terjaga disaat orang duniawi berpura-pura menjadi orang surga disaat orang surgawi telah merampas pekerjaan mereka. Maka, kepada siapa lagi kita mengadu dan berbagi pengalaman akan Tuhan disaat mereka yang berwewenang mendoakan dan menyucikan diri kita justru melacurkan diri sebagai penjual Tuhan? Atau, kepada siapa lagi orang-orang surga minta bantuan materiil ketika mereka justru tak percaya lagi pada dunia?
Di tataran praktis, keseimbangan semesta itu hanya terjadi ketika dalam pekerjaannya orang duniawi merusak semesta, maka orang surgawi justru berupaya melestarikannya. Misalnya, disaat hutan digundul habis oleh pengusaha yang juga penguasa demi membangun kerajaan bisnis yang lebih besar maka orang surgawi tadi harus melawan dan rela mati untuk mencegahnya.
Bukan malah sebaliknya, seperti yang terjadi belakangan ini, di mana orang surgawi malah menjual pertapaannya yang ada di tengah hutan kepada pengusaha dan selanjutnya membangun istana megah di pusat kota. Atau, ketika orang surgawi yang berkewajiban menjaga keseimbangan iklim lewat berbagai upaya dan doa justru merambah hutan demi usaha perkebunan sawit. Celakanya semua itu dibeli dari uang persembahan orang duniawi.
Juga jangan lupakan pula bahwa ketidakseimbangan itu justru terlihat pada saat orang surgawi menindas orang duniawi lewat berbagai kutipan dana demi memajukan lembaga agamanya, atau menjual rumah sakit dan sekolah dengan harga super mahal, bahkan lewat perselingkhuan dengan penguasa dan upaya membangun relasi intim dengan pengusaha demi mendapatkan uang.
Ketidakseimbangan itu terjadi disaat mereka yang saban hari mengatakan dirinya berkarya demi kebaikan (pro bono) dan demi Tuhan (pro Deo) justru merampas hak-hak orang duniawi lewat berbagai jenis usaha yang pro peccunia (demi uang).
Akhirnya, ketidakseimbangan itu pun semakin menjadi-jadi, ketika orang surgawi tadi justru memohon kepada orang duniawi untuk memaklumi seluruh tindakan mereka. Padahal kita semua berharap agar di saat kita, orang duniawi mengais-ngais eksistensi Tuhan ditengah kesibukan kita, ada orang surgawi yang membantu dan menuntun kita serta menunjukkan di mana Tuhan berada.
Inilah letak mulianya kedua orientasi itu, tepatnya disaat orang surgawi dan orang duniawi setia menjalani hidup masing-masing menurut hakikat dan tujuannya dalam rangka menjaga keseimbangan semesta.
Kita semua harus merasa malu, karena kita sering menjual "tuhan" dalam bentuk sachet dan paket.
Lusius Sinurat
Lusius Sinurat
Posting Komentar