Dunia kini dengan hingar-bingar lalu lintas teknologi yang dahsyat memudahkan manusia termasuk peserta didik mengakses informasi bertubi-tubi dari manapun. Tebaran informasi yang tak terhingga membombardir manusia abad ini termasuk para pelajar. Informasi tersedia apa saja, apakah itu yang baik atau yang buruk.
Informasi itu tersedia bagi siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Itu lantas berarti di jaman ini, lembaga pendidikan tak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi seperti di abad ke-19. Maka, tantangan para pendidik saat ini, termasuk guru agama katolik adalah Sekularisme, yang tampil dalam ciri berikut ini:
- Kenikmatan menjadi rumus hidup. Hal ini terlihat dalam nafsu belanja tak terkendali (konsumerisme).
- Masyarakat pun dimengerti sebagai pasar, hingga hidup pun dikendalikan oleh iklan.
- Keutamaan hidup menjadi bahan tertawaan. Segala yang berkaitan dengan keutamaan hidup dan kerohanian ditolak: no miracles, no saints, no dogma, no religion, bahkan no God.
Akibatnya, hidup mengalami pendangkalan, terutama di tiga bidang berpikir, berperasaan, dan berelasi.
(a) Pendangkalan berpikir Pendangkalan berpikir terlihat dari kemalasan berpikir. Manusia dewasa ini ingin solusi serba cepat tanpa memikirkan dampaknya. Daya kritis berada dititik nol, karena kecenderungan mengikuti pola pikir mayoritas. Akibatnya, lahirlah generasi sekadar meniru dan mengatakan ulang dan tidak berpikir sendiri.
(b) Pendangkalan perasaan Pendangkalan perasaan yang tercermin pada sikap masa bodoh dengan perasaan orang lain, escape mechanism, tidak berani menghadapi kenyataan sulit. Perasaan-perasaan seperti belas kasih, empati, saling menghargai “dinonaktifkan”.
(c) Pendangkalan relasi
Konsekuensi logis dari situasi di atas (1 & 2) adalah orang hidup tanpa komitmen atau takut berkomitmen, orang tak peduli dengan orang lain, tak mau bertanggungjawab. Manusia bukan lagi “guyub” dalam komunitas tetapi lebih sekadar “kerumunan”. Anehnya, dalam kerumunan yang hingar-bingar itu orang justru merasa kesepian dan terasing.
Lantas apa yang bisa kita lakukan?
Pedagogi mengedepankan pendidikan manusia seutuhnya yaitu dalam bidang: budi, kehendak, rasa, ingatan, imaginasi, hasrat.
Mendidik ingatan menjadi hal penting, karena didalamnya dihidupkan ingatan-ingatan bermakna untuk mengembangkan pengetahuan dan menumbuhkan hidup bijaksana. Mendidik imaginasi memungkinan pengembangan kemampuan berpikir kreatif. Mendidik hasrat yang membuat “kehendak” menjadi lebih menyenangkan, bukan sesuatu yang dipaksakan. Hasrat menciptakan keadilan, kedamaian dan kasih.
Di titik inilah nilai-nilai pedagogi semestinya tampil pada saat guru mengajar. Menekankan pentingnya, pengalaman, refleksi, aksi, dengan menyertakankon teks pendidikan dan evaluasi.
Lantas apa yang bisa kita lakukan?
Di tengah gempuran kenikmatan, lembaga pendidikan harus merumuskan kembali kekayaan spirit dan nilai-nilai yang dimiliki, berdiri di atas keutamaan hidup merupakan sikap yang tepat. Paradigma Pedagogi di dunia pendidikan merupakan sebuah upaya menghadapi tantangan dunia ini.
Pedagogi ini menjawab konteks hidup orang muda dengan mengembangkan: competence (keunggulan akademik), compassion (berbelarasa, kasih) dan conscience (berkarakter, kebenaran). Pendidikan reflektif bertujuan membela iman dan menegakkan keadilan.
Mendidik budi berarti melatih nalar menuju pemahaman yang mendalam, selain itu kemandirian berpikir atas dasar prinsip dan nilai yang benar. Nalar bagi pedagogi reflektif merupakan kekuatan untuk menelaah dan memahami realitas diri.
Mendidik kehendak yaitu menanamkan kekuatan menghendaki yang baik dan benar. Kehendak muncul setelah terjadi perpaduan antara dimensi kognitif dan afektif. Di bidang kognitif orang mengakui bahwa perbedaan adalah keniscayaan.
Sementara di bidang afektif muncul ketertarikan menghargai perbedaan. Dari sini lahir kehendak membangun kehidupan yang menghargai perbedaan. Dimensi berikut yaitu mendidik rasa agar menjadi peka dan compassion dengan yang menderita.
Mendidik ingatan menjadi hal penting, karena didalamnya dihidupkan ingatan-ingatan bermakna untuk mengembangkan pengetahuan dan menumbuhkan hidup bijaksana. Mendidik imaginasi memungkinan pengembangan kemampuan berpikir kreatif. Mendidik hasrat yang membuat “kehendak” menjadi lebih menyenangkan, bukan sesuatu yang dipaksakan. Hasrat menciptakan keadilan, kedamaian dan kasih.
Di titik inilah nilai-nilai pedagogi semestinya tampil pada saat guru mengajar. Menekankan pentingnya, pengalaman, refleksi, aksi, dengan menyertakankon teks pendidikan dan evaluasi.
Akhirnya, guru agama harus mengupayakan perkembangan manusia seutuhnya man for others, kompeten dan murah hati dalam memperjuangkan hidup bersama yang adil, damai, dan kasih. Lanjut Baca!
Posting Komentar