Berbeda dengan guru Matematika, Fisika, English, dan mata pelajaran lainnya yang selalu merepotkan pihak sekolah disaat mereka tidak hadir.
Kurikulum 2013 (K-13) dengan tegas mengatakan bahwa pembelajaran ahlak dan moral anak-anak adalah hal yang utama di sekolah. Tetapi bagaimana dan dengan cara apa ahlak itu dipelajari justru dijabarkan dengan aneh.
K-13 mengatakan bahwa lewat pelajara selaian bidang studi Agama pun pelajaran moral bisa didapatkan.
Kurikulum 2013 (K-13) dengan tegas mengatakan bahwa pembelajaran ahlak dan moral anak-anak adalah hal yang utama di sekolah. Tetapi bagaimana dan dengan cara apa ahlak itu dipelajari justru dijabarkan dengan aneh.
K-13 mengatakan bahwa lewat pelajara selaian bidang studi Agama pun pelajaran moral bisa didapatkan.
Misalnya lewat pelajaran biologi anak-anak hendaknya diarahkan pada pemahamana keindahan ciptaan Tuhan. Hal yang sama berlaku untuk pelajaran lain.
Lantas, untuk apa Pelajaran Agama di sekolah? Mengapa pula mata pelajaran yang satu ini ditempatkan sebagai nomor-1 di lembar Rapor anak-anak? Hanya kementerian pendidikan dan kebuydaaan yang tahu hal ini.
Nyatanya, pendidikan di negara kita ini agak aneh. Atau, dalam bahasa positif, sistem pendidikan kita ini sangat luarbiasa. Mengapa tidak?
Lantas, untuk apa Pelajaran Agama di sekolah? Mengapa pula mata pelajaran yang satu ini ditempatkan sebagai nomor-1 di lembar Rapor anak-anak? Hanya kementerian pendidikan dan kebuydaaan yang tahu hal ini.
Nyatanya, pendidikan di negara kita ini agak aneh. Atau, dalam bahasa positif, sistem pendidikan kita ini sangat luarbiasa. Mengapa tidak?
Sekolah-sekolah umum bisa berada dibawah kementerian pendidikan dan kementerian agama. MIN, MTN, MAN atau SMAK-N ada dibawah kementerian Agama, sementara sekolah Negeri lainnya ada di kementerian pendidikan.
Baik di sekolahnya mendikbud maupun di sekolahnya menag sama-sama dikatakan lulus kalau udah menjalani Ujian Negara.
Lantas apa bedanya?
Sepertinya sama saja. Bedanya hanya soal pelajaran agama. Kalau Anda sekolah di sekolah Katolik, misalnya, Anda harus menandatangani kesediaan belajar agama Katolik. Begitu juga di sekolah-sekolah yang bernuansa Agama. Taruhlah Anda bersekolah di SMA Muhammadiyah dan Anda beragama Kristen, maka Anda harus belajar agama Islam juga.
Ini berarti, di sekolah Islam Anda tak boleh ada guru agama Kristen, dan demikian sebaliknya. Bila terjadi hal yang berbeda seperti di sekolah Katolik di daerah Jawa Tengah - dimana guru agama Islam disediakan karena mayoritas muridnya Islam, maka hal itu hanya pengecualian.
Pertanyaannya yang sama akan saya ajukan. Untuk apa negara mengakui 6 agama, dan di Rapor anak-anak Pelajaran Agama dicantumkan disaat anak-anak tak belajar Agama berdasarkan agamanya?
Mari memaksakan diri berpandangan positif. Bila di sebuah sekolah X yang Negeri misalnya hanya ada 3 orang Katolik: haruskah sekolah menyediakan 1 guru agama katolik bagi mereka?
Di atas kertas, ya harus. Tapi praktiknya hal ini tak mungkin diwujudkan. Sebab, secara prinsip ekonomi hal ini "ganjil". Sebab, bagaimana mungkin 1 guru Agama Islam yang mengajar 50 siswa dan 1 guru Agama yang mengajar 3 siswa digaji sama?
Mungkin saja, si minoritas akan bertanya, "Mengapa di sekolah Y hanya 3 siswa Islam lantas disediakan 1 guru agama Islam? Lalu, si mayoritas menjawab, "Karena kami punya stok guru Agama yang lebih banyak!"
Angggaplah situasi ini kasuistik dan hanya ada 1/1000 kasus. Walaupun kasus ini terjadi dan nyata, menurut saya sih tidak jadi soal. Sah-sah saja bila ditilik dari prinsip demokrasi.
Maka, mari kembali berpiir positif, dan tidak menyalahkan situasi yang ada. Toh soal pelajaran agama itu soal pribadi, tepatnya persoalan keluarga. Bila anak dilahirkan dan dibaptis di gerjea Katolik, misalnya, maka anak itu harus dididik secara Katolik di rumahnya, di keluarganya. Sementara pelajaran agama di sekolah itu hanya sekunder.
Kalaupun pelajaran agama Katolik di sekolah itu wajib, maka orangtua murid yang harus mengusahakannya. Misalnya meminta bantuan sari Bimas Katolik. Kalau terlalu jauh, silahkan bicara dengan pastor parokinya.
Karena, ternyata, hal ini bisa dituntaskan, dan pemerintah - dalam hal ini menteri pendidikan dan mendikbud sangat terbuka untuk solusi ini. Ini yang disebut kreatif. Tak lantas merebahkan diri di tanah atau berteriak demonstratif di halaman sekolah anak-anaknya.
Paroki Padre Pio Helvetia, yang dimotori oleh Pastor Parokinya, Ambrosius Nainggolan dan seksi pendidikan paroki Yulia Sinurat mencoba mencari jalan keluar seperti diurai di atas. Prinsipnya, pihak paroki sangat jeli mengamati situasi ini, terutama soal guru agama katolik di sekolah-sekolah non-katolik di wilayah parokinya.
"Mari kita cari jalan keluarnya," kata Ambro.
Baik di sekolahnya mendikbud maupun di sekolahnya menag sama-sama dikatakan lulus kalau udah menjalani Ujian Negara.
Lantas apa bedanya?
Sepertinya sama saja. Bedanya hanya soal pelajaran agama. Kalau Anda sekolah di sekolah Katolik, misalnya, Anda harus menandatangani kesediaan belajar agama Katolik. Begitu juga di sekolah-sekolah yang bernuansa Agama. Taruhlah Anda bersekolah di SMA Muhammadiyah dan Anda beragama Kristen, maka Anda harus belajar agama Islam juga.
Ini berarti, di sekolah Islam Anda tak boleh ada guru agama Kristen, dan demikian sebaliknya. Bila terjadi hal yang berbeda seperti di sekolah Katolik di daerah Jawa Tengah - dimana guru agama Islam disediakan karena mayoritas muridnya Islam, maka hal itu hanya pengecualian.
Pertanyaannya yang sama akan saya ajukan. Untuk apa negara mengakui 6 agama, dan di Rapor anak-anak Pelajaran Agama dicantumkan disaat anak-anak tak belajar Agama berdasarkan agamanya?
Mari memaksakan diri berpandangan positif. Bila di sebuah sekolah X yang Negeri misalnya hanya ada 3 orang Katolik: haruskah sekolah menyediakan 1 guru agama katolik bagi mereka?
Di atas kertas, ya harus. Tapi praktiknya hal ini tak mungkin diwujudkan. Sebab, secara prinsip ekonomi hal ini "ganjil". Sebab, bagaimana mungkin 1 guru Agama Islam yang mengajar 50 siswa dan 1 guru Agama yang mengajar 3 siswa digaji sama?
Mungkin saja, si minoritas akan bertanya, "Mengapa di sekolah Y hanya 3 siswa Islam lantas disediakan 1 guru agama Islam? Lalu, si mayoritas menjawab, "Karena kami punya stok guru Agama yang lebih banyak!"
Angggaplah situasi ini kasuistik dan hanya ada 1/1000 kasus. Walaupun kasus ini terjadi dan nyata, menurut saya sih tidak jadi soal. Sah-sah saja bila ditilik dari prinsip demokrasi.
Maka, mari kembali berpiir positif, dan tidak menyalahkan situasi yang ada. Toh soal pelajaran agama itu soal pribadi, tepatnya persoalan keluarga. Bila anak dilahirkan dan dibaptis di gerjea Katolik, misalnya, maka anak itu harus dididik secara Katolik di rumahnya, di keluarganya. Sementara pelajaran agama di sekolah itu hanya sekunder.
Kalaupun pelajaran agama Katolik di sekolah itu wajib, maka orangtua murid yang harus mengusahakannya. Misalnya meminta bantuan sari Bimas Katolik. Kalau terlalu jauh, silahkan bicara dengan pastor parokinya.
Karena, ternyata, hal ini bisa dituntaskan, dan pemerintah - dalam hal ini menteri pendidikan dan mendikbud sangat terbuka untuk solusi ini. Ini yang disebut kreatif. Tak lantas merebahkan diri di tanah atau berteriak demonstratif di halaman sekolah anak-anaknya.
Paroki Padre Pio Helvetia, yang dimotori oleh Pastor Parokinya, Ambrosius Nainggolan dan seksi pendidikan paroki Yulia Sinurat mencoba mencari jalan keluar seperti diurai di atas. Prinsipnya, pihak paroki sangat jeli mengamati situasi ini, terutama soal guru agama katolik di sekolah-sekolah non-katolik di wilayah parokinya.
"Mari kita cari jalan keluarnya," kata Ambro.
"Cara apa pun yang dibutuhkan saya siap membantu," kata Yulia yang juga Pembimas Katolik Sumut, saat berhadapan dengan para guru-guru agama Katolik di wilayah parokinya.
Luarbiasa. Paroki Helvetia tak betah dalam kegelapan, tetapi mereka mencari lilin dan menyalakannya. Ini yang mesti ditiru oleh paroki-paroki lain di Keuskupan Agung Medan yang baru saja menyelenggarakan SINODE VI di Nagahuta.
12.09.2016 | San Padre Pio, Helvetia, Medan
Luarbiasa. Paroki Helvetia tak betah dalam kegelapan, tetapi mereka mencari lilin dan menyalakannya. Ini yang mesti ditiru oleh paroki-paroki lain di Keuskupan Agung Medan yang baru saja menyelenggarakan SINODE VI di Nagahuta.
12.09.2016 | San Padre Pio, Helvetia, Medan
Posting Komentar