"Itu emang orang gila sih. Kirain siapa, taunya Fr. Novem itu ikutan ngajar kita. Hihihi..padahal kita udah omongin kalau frater itu pecicilan, lasak dan tampangnya kayak orang sedang mau menggasak," celetuk Juni sambil tertawa.
Percakapan di atas terjadi di salah satu rumah pembinaan terbesar di Jawa, pada tahun 2002 silam. Saat itu fr. Novem yang baru lulus S1 Filsafat diminta membantu pastor mendampingi retret para dokter Katolik dari Jakarta.
Tentu saja Fr, Novem masih terlihat grogi, apalagi ini saat pertama kali diminta memberi retret untuk kelompok profesional. Jadilah dia menjadi bulan-bulanan para dokter, terutama dokter-dokter spesialis kandungan dan dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin.
Tapi aneh. Rasa grogi dan perasaan Fr. Novem yang memang dekil itu tiba-tiba berubah saat dia pertama kali bicara di depan peserta. Pertama-tama dia menunjuk dirinya sendiri untuk memimpin doa, seraya nyeletuk, "Tuhan mendengarkan doa-doa orang yang dihina".
Grrr... tiba-tiba suasan riuh oleh tawa. Tapi si fr. Novem justru menahan tawa. Ia tiba-tiba memulai doa dengan tanda salib khas Katoliknya.
Tak lama setelah suasana hening, ia pun mulai komat-kamit memulai doanya, "Tuhan, aku sangat senang hari ini karena untuk pertamakali diminta mendampingi retret untuk kelompok profesional. Itu yang pertama. Yang kedua, aku tak menyangka kalau kelompok pertama yang kudampingi ini adalah para dokter; belum lagi mereka sudah seusia orangtuaku. Nah, yang ketiga ini yang Tuhan harus dengarkan ya, jangan biarkan aku grogi. Yakinkau aku kalau para dokter ini hanya tahu penyakit fisik, sementara aku tahu penyakit psikologis dan spiritual. Maka, karena ini retret, jangan biarkan kami terlalu banyak bicara penyakit fisik tetapi tuntun kami, terutama para dokter ini agar fokus menyembuhkan penyakit spiritual kami. Bukankah mereka mau retret? Itu aja, Tuhan. Selebihnya aku akan coba berupaya sendiri agar tidak grogi. Amin"
Suasana grrrr lagi. Setelah kata "amin" semua peserta malah tertawa dan suasana pun menjadi cair hingga perjalanan retret pun berjalan lancar. Maka tak heran ketika dievaluasi, Fr. Novem malah menjadi pendamping favorit mereka.
Entahlah, apa karena doa atau karena Fr. Novem memang pinter mengatasi rasa groginya, sehingga para dokter itu pada akhirnya ada dalam kendalinya.
Lusius Sinurat
Posting Komentar