Ahok emang "gila".
Bagaimana tidak? Ia dihujat sana-sini: dituduh pemimpin jumawa penggusur rakyat biasa, tukang marah hingga kerjanya tak terarah, bahkan ia juga dituding nihil prestasi oleh lawan-lawan politiknya.
Ahok sih santai saja menanggapi hal itu. Toh sudah biasa. Sesekali Ahok mengaum bak singa, atau hanya berkicau bagai rajawali, atau menyeringai sambil melotot bak seekor banteng.
Karena dipancing oleh media pemburu berita, tak jarang juga Ahok seperti harimau yang langsung menerkam lawan. Hanya sesaat kemudian ia segera memuntahkannya, karena omongan lawannya dianggap bau amis.
Ahok memang gila. Bukan pertama-tama karena kata-katanya selalu menohok, atau karena kehadirannya yang membuat bawahannya langsung gemetaran bila tak becus bekerja karena ketegasannya.
Bukan itu..... tapi... ini dia....
Sejak isu Pilkada DKI digulirkan, Ahok mengubah gambaran parpol di mata masyarakat, dengan mengatakan ia akan maju lewat jalur independen ( bersama TEMAN AHOK , dan bukan dengan Dukung Ahok Gubernur DKI (DAG-DKI) hahahaha).
Tetapi ketika beberapa partai mulai kasak-kusuk seraya menginstrospeksi diri untuk menciptakan pembuktian terbalik, Ahok justru 'menaikkan' kualitas omongannya, "Agar lebih praktis, saya akan maju lewat partai saja."
Lalu bagaimana tanggapan musuh-musuhnya?
Yusril Ihza Mahendra, orang yang sama-sama asal Belitung dan juga ketua partai bulan bintang yang tak lolos pada pemilu 2014 lalu langsung merasa tersinggung. Yusril bahkan menyebut Ahok terlalu sombong dan tak santun.
Tapi bukan Ahok namanya kalau bukan menohok. Ia justru menguji kemampuan Hukum Tata Negaranya Yuzril lewat gugatannya tentang UU Pilkada, khususnya soal cuti petahana saat pilkada berlangsung.
Nyata dihadapan kita. Yusril yang profesor hukum tata negara itu justru tak mendapatkan kendaraan politik dan mengakhiri pencalonannya dengan rintihan ini, "PDI-P memberikan harapan palsu kepada saya!"
Itulah Ahok, orang gila yang dicintai banyak orang dari semua golongan itu, bahkan nun jauh diluar DKI Jakarta.
Tak hanya Yusril sang mantan menhunkam dan sekretaris kabinet, tetapi juga ada mantan Presiden SBY , mantan Kopasus Prabowo, mantan Mendikbud Anies Baswedan, mantan Menko Maritim Rizal Ramli, dan mantan-mantan pejabat lainnya tiba-tiba kudisan dibuatnya.
Tragisnya lagi, si 'Sengkuni' Amien Rais yang memproklamirkan dirinya pahlawan reformasi dan mantan Ketua MPR itu juga terpaksa harus menodai isi dakwahnya saat Hari Raya Kurban di salah satu mesjid di Jakarta, dengan memfitnah Ahok.
Tapi, lagi-lagi Ahok tak gentar. Bagaimana mau gentar? Urat takutnya sudah putus. Begitu pengakuannya saat penulis berjumpa di Balai Kota Jakarta tanggal 14 Agustus 2015 silam, dan ia sering mengatakan hal yang sama di media.
Kini, Ahok justru bermain di level tertinggi seorang politisi. Bila di satu sisi ia seakan asbun (asal bunyi) dihadapan para pencari berita, maka di sisi lain justru melakukan lobi tingkat tinggi dengan ketua partai besar.
Itu karena Ahok seorang politisi hebat dan sungguh cerdas.
Bayangkan, ketika Djarot, wakilnya mengkritiknya di media, ia mengujinya dengan menggadang-gadang Heru sebagai balon wakilnya. Dengan tindakannya, Ahok menguji kesetiaan Djarot dan menguji daya tahannya, terutama menjelang Pilgub. Sebab jamak terjadi wakil gubernur petahana seringkali meninggalkan gubernurnya demi mencalonkan diri sebagai Cagub.
Benar saja. Ahok berhasil. Djarot pun luluh. Ia lulus sekolah kepribadian yang diciptakan sang bosnya. Ia tak tergila-gila jadi gubernur, tetapi ia yakin bahwa kerjasama dengan Ahok adalah keharusan yang tak boleh dihindarkan, kendati 'hanya' sebagai orang nomor dua di DKI Jakarta.
Jangan juga lupakan omongan Hasto Kristanto, Sekjen partai berlambang Banteng moncong putih itu. Hasoto berkali-kali menduduh Ahok sebagai cagub yang kepedean. Belum lagi omongan Yoyok dan Risma yang sempat digadang-gadang melawan Ahok bahwa "Ahok itu fitnah!" saat mengeluh soal mahalnya mahar politik saat melamar jadi balon pejabat daerah dari partai tertentu.
Tapi inilah endingnya...
Dengan hak veto sang ratu, Megawati Soekarnoputri, PDI-P pun justru dengan mantab mengusung Ahok-Djarot. Lantas gimana dong dengan suara sumbang sebelumnya dari aktor PDI-P?
Kita tahu bahwa politik tak boleh dikelola dengan ingatan. Justru sebaliknya, seorang politisi harus bisa cepat melupakan omongannya untuk melompat ke fase berikutnya. Kata Hasto, "politik itu seni meraih kekuasaan."
Begitulah politik tak selalu terkait dengan tingkat kewarasan seseorang. Sebab, bagi politisi, waras atau tidak waras itu justru tergantung pada kuantitas dan kualitas kepentingan yang diinginkan partainya.
Kenyataannya, kini, sang singa gila itu justru berpelukan dengan banteng (PDI-P), setelah sebelumnya sudah terbang bersama rajawali (Nasdem) seturut nuraninya (Hanura) sembari di saat lelah ia pun berteduh dibawah rimbunnya pohon beringin (Golkar).
Kembali pada pencalonan Ahok-Djarot. Kini "perlengkapan perang" untuk kembali menduduki tahta DKI-1 telah cukup, bahkan lebih dari cukup. Bahkan Ahok tak gentar siapa pun lawannya.
Saat Cikeas (Demokrat) sibuk mendemonstrasikan aksinya mencalonkan Agus-Silviana, Ahok-Djarot cukup mengirim sang Rajawali (Nasdem) untuk menggiring opini agar sang mantan memaksakan putra sulungnya jadi cagub.
Begitu juga saat kuda-kuda lepas dari Hambakang menuju Jl. Kertanegara - Kebayoran Baru, maka Ahok cukup menyuruh Banteng memblokir jalan agar kuda-kuda tak membuat situasi menjadi geger (Gerindra), tepatnya setelah mencalonkan Anies-Sandiago.
Lalu gimana dong dengan lawan-lawan politiknya menggunakan simbol Agama, seperti PKS, PAN, PKB, atau PPP? Gampang! "Si gila" Ahok cukup mengandalkan suara hati rakyat (Hanura) yang memilihnya, karena kemurnian hati jauh melampaui ritual-ritual keagamaan mereka.
Akhirnya, semoga berbagai 'rangsangan' ide politis yang dimainkan oleh "si gila" Ahok semakin hari semakin memperkaya dinamika demokrasi di negara kita.
#BravoAhokDjarot
Posting Komentar