Harapan-harapan terkadang perlu ditinjau lagi agar seseorang dapat mengarahkan hidupnya menuju cita-cita yang realistis. Harapan dan cita-cita itu lebih terarah bila seseorang mempunyai dasar yang kuat untuk membentuk konsep diri yang baik dari dalam dirinya, sebelum mendapat masukan dari orang lain dan lingkungannya.
Namun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan dunia yang sangat pesat khususnya dalam bidang media masa sebagai alat komunikasi, mempengaruhi kehidupan bagi anak-anak di tengah keluarga atau para siswa di sekolah. Hal ini merupakan suatu tantangan dalam menatap masa depannya. Konsep diri akan lebih mengarahkan anak-anak dalam keluarga atau siswa di sekolah untuk mengenal dan memahami dirinya serta segala potensi dan eksistensi diri yang dimilikinya.
Perkembangan anak dalam keluarga atau sebagai siswa di sekolah dalam usia remaja seperti ini adalah saat untuk berjuang membangun serta membntuk konsep diri yang utuh. Ini berarti mencoba berbagai pesan, dan meniru berbagai panutan yang diharapkannya.
Konsep diri adalah satu gambaran dari apa yang kita pikirkan tentang orang lain dan berpendapat mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita yang kita inginkan. Adler (dalam Burns 1993: 24), mengatakan: bahwa Diri merupakan sesuatu system yang sangat di-pribadi-kan dan subyektif di mana seseorang menginterpretasikan dan memberi makna terhadap pengalaman-pengalamannya.
Melihat manusia sebagai mahluk yang sadar, biasanya sadar terhadap alasan-alasannya untuk bertingkah laku, mampu mengorganisasikan dan membimbing tindakan-tindakannya dengan kesadaran yang paripurna terhadap implikasi mereka bagi realisasi dirinya sendiri.
Sejalan dengan itu, dalam edisi khusus (Ensiklopedi Indonesia 4:1856) menyatakan bahwa ‘’Konsep diri adalah keseluruhan sikap, penilaian dan norma-norma seseorang dalam hubungan dengan segala tingkah laku, kemampuan dan kualitasnya sebagai manusia.’’
Maka konsep diri diarahkan untuk lebih dalam melihat diri yang sebenarnya dalam keseluruhan sikap dan tingkah laku yang dimaknai dalam pengalaman-pengalamannya, serta menentukan keberhasilan hidup seseorang.
Gunawan, (2005: 1) menegaskan bahwa: ‘’Konsep diri memainkan peran yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan hidup seseorang. Semakin baik konsep diri maka akan semakin mudah seseorang untuk berhasil’’.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan pandangan seseorang tentang dirinya sendiri, dan merupakan potret diri secara mental, yakni bagaimana seseorang melihat, menilai dan menyikapi dirinya sendiri.
Seseorang harus perlu memahami pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan terhadap diri sendiri, dan penilain terhadap diri sendiri. Akan lebih baik apabila konsep diri seseorang memiliki komponen “Diri Ideal (Self Ideal), Citra Diri (Self Image), dan Harga Diri (Self Esteem)”.
Ketiga komponen ini akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan konsep diri seseorang dalam kehidupannya untuk membangun kepercayaan dan harga diri yang tinggi.
Tetapi dalam kenyataan, banyak siswa di sekolah atau anak di tengah keluarga yang tidak memiliki konsep diri yang terarah ke hal-hal yang baik. Karena kurang kontrol diri akhirnya mereka terjerumus dan terjun pada masalah hidup yang tidak terarah lagi. Sebelumnya mereka dianggap anak yang baik, tetapi sekarang berubah pada hal-hal yang tidak baik.
Mereka menjadi siswa atau anak yang suka berkelahi, berbohong, mencuri, permusuhan, ketidak displinan, sikap tidak demokratis, kurang percaya diri, pesimis menghadapi masa depan, takut berinteraksi dengan orang lain, minder dan malu, tidak bertanggung jawab dalam tugas, merasa diri bodoh, rendah diri, merasa diri tidak berharga, tidak berani mencoba hal-hal baru, takut gagal, takut sukses dan lain-lain serta kecintaan pada bentuk pornografi dan terjerumus pada dunia narkoba.
Kebiasaan-kebiasaan seperti ini akhirnya berkepanjangan, sehingga membuat mereka tidak mengenal jati diri siapa dirinya yang sebenar-nya sebagai siswa di sekolah dan anak dalam keluarga.
Untuk memperbaiki kembali pandangan, sikap dan perilaku yang baik bagi anak-anak ini bahwa mereka adalah anak yang baik sebelumnya yang pertama-tama adalah orang tua itu sendiri. Karena fenomena-fenomena negatif yang terjadi ini disebabkan oleh pola kontrol dari orang tua yang lemah dan juga cara orang tua dalam memberikan penguatan ataupun hukuman terhadap anak belum tepat. Sikap seperti ini menunjukkan bahwa siswa tidak memiliki konsep diri yang baik.
Untuk memperbaiki kembali pandangan, sikap dan perilaku yang baik bagi anak-anak ini bahwa mereka adalah anak yang baik sebelumnya yang pertama-tama adalah orang tua itu sendiri. Karena fenomena-fenomena negatif yang terjadi ini disebabkan oleh pola kontrol dari orang tua yang lemah dan juga cara orang tua dalam memberikan penguatan ataupun hukuman terhadap anak belum tepat. Sikap seperti ini menunjukkan bahwa siswa tidak memiliki konsep diri yang baik.
Perilaku seperti ini merupakan hasil dari proses belajar dalam interaksi sosial yakni dipengaruhi oleh keluarga yang merupakan lingkungan sosial anak terdekat.
Para orang tua sebaiknya berusaha memberikan bekal pendidikan yang dipercayai sebagai bekal terbaik bagi anak yaitu pendidikan, seperti yang termuat dalam Undang-Undang Sisdiknas RI no. 20, (2003:8) menyatakan ‘’Orang tua berhak dan berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya’’.
Para orang tua sebaiknya berusaha memberikan bekal pendidikan yang dipercayai sebagai bekal terbaik bagi anak yaitu pendidikan, seperti yang termuat dalam Undang-Undang Sisdiknas RI no. 20, (2003:8) menyatakan ‘’Orang tua berhak dan berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya’’.
Oleh karena itu keluarga (orang tua) mempunyai peranan yang besar dalam pembentukan pola berperilaku anak. Hubungan akrab antara orang tua dan anak sangat penting untuk dibina dalam keluarga. Orang tua yang baik adalah orang tua yang pandai menjadi sahabat sekaligus sebagai teladan bagi anak-anaknya, karena seperti dikatakan oleh Brown (dalam Tarmudji, 2002:2): “Keluarga adalah lingkungan yang pertama sekali menerima kehadiran anak.”
Pendidikan dalam keluarga memiliki nilai strategis membangun dalam pembentukan kepribadian anak. Keteladanan dan kebiasaan yang orang tua tampilkan dalam bersikap dan berperilaku tidak terlepas dari perhatian dan pengamatan anak. Kasih sayang yang diberikan orang tua pada awal kehidupan seorang anak sangat membantu perkembangan anak bahkan menjadi dasar peletakkan kepribadiannya.
Sikap dan perilaku yang ditampilkan orang tua dalam berinteraksi dengan anak ternyata mempengaruhi perilaku anak dalam berinteraksi dengan orang lain. Jika orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya, menunjukkan sikap-sikap yang positif, maka anak dalam lingkungan sosialnya akan berperilaku secara positif. Sebaliknya apabila orang tua menunjukkan sikap yang negatif dalam berinteraksi dengan anak, maka anak akan tampil secara negatif dalam berinteraksi dengan orang lain.
Seirama dengan ini, Farrington (dalam Shochib, 1998:5) mengatakan bahwa ‘’Sikap orang tua yang kasar dan keras, perilaku orang tua yang menyimpang, dinginnya hubungan antara anak dengan orang tua dan antara ayah dengan ibu, orang tua yang bercerai, dan ekonomi lemah menjadi pendorong utama terhadap anak berperilaku agresif’’.
Oleh karena itu keberadaan anak merupakan keberadaan orang tua. Dimana orang tua yang bijaksana akan memberikan umpan balik yang sesuai dengan kondisi anak yang sesungguhnya. Selain itu orang tua harus mampu membaca situasi keberadaan anak, pola pikir anak, dan potensi-potensi yang dimiliki anak serta bagaimana konsep diri anak yang sebenarnya.
Menurut Rakhmat (1998:101) bahwa ‘’Tidak semua orang tua mempunyai pengaruh dalam diri anak. Yang paling berpengaruh adalah orang yang paling dekat dengan diri si anak’’. Lebih lanjut Herbet Mead (dalam Rakhmat 1998:101) menyebutkan: Mereka adalah significant others. Mereka adalah orang tua, saudara-saudara, dan orang yang tinggal satu rumah dengan anak. Dari merekalah secara berlahan-lahan terbentuk konsep diri anak.
Senyuman, pujian, penghargaan, dan pelukan, dan dari mereka pulalah anak mendapatkan ejekan, cemoohan, dan hardikan. Maka dengan sikap di atas orang tua dapat berinteraksi dengan anak, dan dengan sikap itulah konsep diri anak terbentuk, dan anak belajar dari kehidupannya. Nolte (dalam Rakhmat, 1998: 102) menandaskannya, bahwa
Mengacu pada uraian di atas, lingkungan keluarga merupakan lingkungan terdekat bagi anak, sehingga keluarga juga merupakan sumber bagi timbulnya fenomena yang tidak positif dalam diri anak. Di dalam keluarga interaksi antara anak dengan orang tua adalah sangat penting.
Dengan kata lain pola asuh orang tua dalam keluarga akan mempengaruhi konsep diri anak dalam keluarga atau siswa di lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat luas dimana anak itu berinteraksi. Stewart dan Koch (dalam Tarmudji, 2002:2) melalui kegiatan penelitiannya menemukan bahwa: Apabila anak dikenai disiplin yang ketat sebelum berumur tiga tahun biasanya anak akan mempunyai sikap tergantung dan sikap permusuhan.
Apabila disiplin yang ketat dikenakan pada umur yang lebih tua maka anak tidak akan menghambat permusuhan dan akan tampak dalam tingkah laku agresifnya yaitu seperti perkelahian dan tawuran ataupun hal yang tidak mendukung perkembangan diri anak.
Bagi orang tua diharapkan sungguh mampu memperhatikan proses pertumbuhan dan perkembangan diri anak, sehingga dapat mengarakannya sesuai tingkat usia yang dilalui dan dialaminya. Dengan demikian kertercapaian konsep diri mereka (anak) semakin hari semakin baik, dan akhirnya menghantar mereka memiliki pola pikir yang baik untuk membangun diri dan hidupnya ke hal-hal yang baik pula. (Sumber: Fr. Paskalis Wangga, CMM, "Pola Asuh Orang Tua Dalam Membangun Konsep Diri Anak", hlm. 1-9.)
Penulis: Pascalis Wangga
Editor: Lusius Sinurat
Pendidikan dalam keluarga memiliki nilai strategis membangun dalam pembentukan kepribadian anak. Keteladanan dan kebiasaan yang orang tua tampilkan dalam bersikap dan berperilaku tidak terlepas dari perhatian dan pengamatan anak. Kasih sayang yang diberikan orang tua pada awal kehidupan seorang anak sangat membantu perkembangan anak bahkan menjadi dasar peletakkan kepribadiannya.
Sikap dan perilaku yang ditampilkan orang tua dalam berinteraksi dengan anak ternyata mempengaruhi perilaku anak dalam berinteraksi dengan orang lain. Jika orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya, menunjukkan sikap-sikap yang positif, maka anak dalam lingkungan sosialnya akan berperilaku secara positif. Sebaliknya apabila orang tua menunjukkan sikap yang negatif dalam berinteraksi dengan anak, maka anak akan tampil secara negatif dalam berinteraksi dengan orang lain.
Seirama dengan ini, Farrington (dalam Shochib, 1998:5) mengatakan bahwa ‘’Sikap orang tua yang kasar dan keras, perilaku orang tua yang menyimpang, dinginnya hubungan antara anak dengan orang tua dan antara ayah dengan ibu, orang tua yang bercerai, dan ekonomi lemah menjadi pendorong utama terhadap anak berperilaku agresif’’.
Oleh karena itu keberadaan anak merupakan keberadaan orang tua. Dimana orang tua yang bijaksana akan memberikan umpan balik yang sesuai dengan kondisi anak yang sesungguhnya. Selain itu orang tua harus mampu membaca situasi keberadaan anak, pola pikir anak, dan potensi-potensi yang dimiliki anak serta bagaimana konsep diri anak yang sebenarnya.
Menurut Rakhmat (1998:101) bahwa ‘’Tidak semua orang tua mempunyai pengaruh dalam diri anak. Yang paling berpengaruh adalah orang yang paling dekat dengan diri si anak’’. Lebih lanjut Herbet Mead (dalam Rakhmat 1998:101) menyebutkan: Mereka adalah significant others. Mereka adalah orang tua, saudara-saudara, dan orang yang tinggal satu rumah dengan anak. Dari merekalah secara berlahan-lahan terbentuk konsep diri anak.
Senyuman, pujian, penghargaan, dan pelukan, dan dari mereka pulalah anak mendapatkan ejekan, cemoohan, dan hardikan. Maka dengan sikap di atas orang tua dapat berinteraksi dengan anak, dan dengan sikap itulah konsep diri anak terbentuk, dan anak belajar dari kehidupannya. Nolte (dalam Rakhmat, 1998: 102) menandaskannya, bahwa
- Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
- Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
- Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
- Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
- Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
- Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
- Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
- Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakukan, ia belajar keadilan.
- Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
- Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
- Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan).
Mengacu pada uraian di atas, lingkungan keluarga merupakan lingkungan terdekat bagi anak, sehingga keluarga juga merupakan sumber bagi timbulnya fenomena yang tidak positif dalam diri anak. Di dalam keluarga interaksi antara anak dengan orang tua adalah sangat penting.
Dengan kata lain pola asuh orang tua dalam keluarga akan mempengaruhi konsep diri anak dalam keluarga atau siswa di lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat luas dimana anak itu berinteraksi. Stewart dan Koch (dalam Tarmudji, 2002:2) melalui kegiatan penelitiannya menemukan bahwa: Apabila anak dikenai disiplin yang ketat sebelum berumur tiga tahun biasanya anak akan mempunyai sikap tergantung dan sikap permusuhan.
Apabila disiplin yang ketat dikenakan pada umur yang lebih tua maka anak tidak akan menghambat permusuhan dan akan tampak dalam tingkah laku agresifnya yaitu seperti perkelahian dan tawuran ataupun hal yang tidak mendukung perkembangan diri anak.
Bagi orang tua diharapkan sungguh mampu memperhatikan proses pertumbuhan dan perkembangan diri anak, sehingga dapat mengarakannya sesuai tingkat usia yang dilalui dan dialaminya. Dengan demikian kertercapaian konsep diri mereka (anak) semakin hari semakin baik, dan akhirnya menghantar mereka memiliki pola pikir yang baik untuk membangun diri dan hidupnya ke hal-hal yang baik pula. (Sumber: Fr. Paskalis Wangga, CMM, "Pola Asuh Orang Tua Dalam Membangun Konsep Diri Anak", hlm. 1-9.)
Penulis: Pascalis Wangga
Editor: Lusius Sinurat
Posting Komentar