Wisuda bahkan diwajibkan di setiap kelulusan pendidikan formal: Playgroup (PAUD) 1 tahun, TK 2 tahun, SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun dan kuliah D-III 3 tahun, S1 4 tahun, S2 2 tahun, S3 4 tahun.
Jadi, kalau Anda Anda kuliah hingga S3 maka Anda bisa bayangbakan berapa kali Anda menggunakan toga dan harus membayar ritual pendidikan itu.
Lazimnya wisuda adalah suatu proses pelantikan kelulusan mahasiswa yang telah menempuh masa belajar pada suatu universitas; dan prosesnya diawali dengan prosesi masuknya rektor dan para pembantu rektor dengan dekan-dekannya guna mewisuda para calon wisudawan.
Tetapi, seperti telah disinggung di atas, wisuda ternyata juga berlaku untuk sekolah dasar dan menengah, terutama di kota-kota besar.
Ritual pendidikan ini di satu sisi dibutuhkan, kendati bukan sesuatu yang sangat pokok. Tetapi di sisi lain, wisuda juga bisa memberatkan orangtua, terutama karena kesulitan biaya.
Hal yang paling penting justru bukan pada saat kuliah hingga wisuda, tetapi terutama setelah wisuda. Kok bisa? Terbatasnya lapangan kerja ditengah ribuan bahkan jutaan lulusan baru hanyalah salah satu persoalan.
Persoalan berikutnya adalah gagalnya kampus mempersiapkan calon tenaga kerja yang kreatif dan inovatif, sehingga mereka memang tidak siap untuk bekerja selepas kuliah.
Inilah situasi nyata di negeri ini. Belum lagi persoalan lain seperti mudahnya pemerintah memberikan ijin pendirian sekolah dan universitas. Maka tuntutan agar kampus melahirkan manusia berkualitas pun menjadi sesuatu yang nisbi.
Mudahnya mendapatkan gelar sarjana S1 hingga S3 nyatanya tak bisa diberantas di negeri ini. Begitu juga fakta bahwa pengelolaan pendidikan, entah oleh swasta maupun oleh pemerintah tak pernah bisa lepas dari power effect hingga porofesionalisme masih menjadi barang mahal. Demikianlah ritual tak pernah sinergi dengan tindakan aktual di negeri ini. Entah di negeri orang.
Lusius Sinurat
Posting Komentar