Presiden Jokowi secara diam-diam selalu menambah perbendaharaan kata (neologi) baru lewat media. Entah karena tidak mengerti bahasa Indonesia atau memang sangat melekat erat dengan kultur Jawa, Pak Jokowi selalu memunculkan terminologi Jawa untuk berbagai hal.
Jauh sebelum jadi capres RI-1, beliau juga akrab dengan ungakpan "'ra popo" alias "Ora Opo-opo". Tak hanya orang Jawa, di Papua dan di pedalaman Nias pun ungkapan itu sudah akrab digunakan.
Selama ia jadi presiden pun ia konsisten menggunakan terminologi Jawa yang sebetulnya sudah diadopsi dalam KBBI 2005, yakni byar pet alias biarpet.
KBBI menterjemahkan istilah "biarpet" sebagai kata kerja yang berarti "menyala dan padam secara berulang-ulang (tentang lampu)".
Di era awal reformasi kita sangat akrab dengan "lengser keprabon" (turun tahta). Begitu juga di jaman SBY muncul istilah "Puenak Zamanku toh?" (enak di eraku toh?) yang mewakili orang-orang yang merindukan Suharto.
Dan kini, muncullah Jokowi yang sangat Njawani atawa sosok yang sangat Solo banget dengan istilah-istilah Jawa-nya.
Sebetulnya tak harus jadi presiden. Para pemimpin daerah, para menteri dan semua pejabat publik sebetulnya sah-sah saja mengangkat terminologi lokal demi menambah kosa kata dalam Bahasa Indonesia.
Persoalannya, terutama di kalangan pejabat Batak atau artis Batak, entah kenapa ada keengganan menggunakan terminologi bahasa Batak dalam kepemimpinannya.
Akibatnya, orang-orang di luar Pulau Sumatera, atau lebih sempit lagi di luar Sumatera Utara, hanya tau kalau bahasa Batak itu tak lebih dari sekedar "Horas Lae!", Pariban, Opung dan Bodat (monyet). Selebihnya masih tersimpan di dasar Danau Toba.
Maka ketika BODT atau megaproyek "Moncao of Asia" dimulai di Danau Toba bisa jadi para turis justru akan lebih akrab dengan kata
- "punten" daripada "santabi" / "tabi"
- "byarpet" daripada "galak-mittop" / "manggoluh-matei"
- "ora opo-opo" daripada "dang pola boha" / "lang pala mahua" / "labo dalih"
- "matur nuhun" daripada "mauliate" / "diateitupa" / "bujur"
- dst.
Faktnya para pemerhati BODT hanya sibuk dengan istilah peduli budaya lokal, tetapi tak mampu menjadikan budaya lokal, mulai dari bahasa dan tradisi yang baik untuk memperkaya khasanah keindonesiaan.
Niscaya memahami sebuah budaya tanpa mengetahui (mengenal) bahasanya.
Ditunggu ya.....
Posting Komentar