Dalam menjadi tamu di "Ini Talkshow" di NetTV, Annette H yang berkebangsaan Jerman dan sangat familiar dengan budaya Batak mengatakan perihal cara orang Batak bicara: "That just the way they talk."
Ya, itulah orang Batak! Tak ada duanya! Somehow Batak's people relative always claimed that my family is true. Tentu saja dengan keukeuh semekeuhnya Halak Hita. Mereka kerap menganggap diri sebagai bangsa terpilih seperti Yahudi, hingga merasa there's only one the real human in the world!
Bila seseorang berada diluar karakter, maka he's not really really Batak. ha ha ha. Enggak percaya? Ini pengalaman si Togar yang ia ceritakan kepada sobatnya, si Bornok.
Togar adalah lelaki Batak yang selama 5 tahun terakhir tinggal di Kota Semarang, tepatnya ditengah mayoritas orang Jawa. Ia memulai pembicaraan kepada sahabatnya.
"Lae Bornok. Aku sangat bangga jadi orang Batak. Tapi, persoalannya, di Semarang ini aku justru dikataian "Batak Palsu" oleh teman-teman orang Jawa di Semarang ini."
"Bah. apa pula itu. Kurasa mereka betul juga, kawan. Udah kek orang Jawa kau kutengok?" celoteh Bornok yang asli Onan Runggu itu.
"Tunggu dulu dong laeku. Lae langsung tau aja. Bener sih, mereka bilang gaya bicaraku udah gak Batak banget. Bukan pertama-tama karena logatku, tetapi terutama karena volume suara dan temperamen khas Batak ku udah hilang. Itu menurut mereka sih.
"Ya ialah. Kutengok pun dari tadi suara lae sudah macam tak bisa lagi kudengar. Kupikir telingaku yang congek. Eh, taunya karena lae Togar sudah persis seperti Jawa.
"Ya. Itulah lae. Itu enggak kubut-buat juga. Lagipula aku kan sudah lahir di daerah Simalungun dan di desa kelahiranku dikelilingi daerah kebun yang mayoritas orang Jawa. Lae tau sendiri lah kalau Simalungun itu mirip-mirip Jawa kalau ngomong. Lembut dan mendayu-dayu. Wajah dong aku terpengaruh?"
"Ah, kalau begitu, dari sekarang lae harus lebih sering ke lapo tuak di daerah Undip sana. Biar kek tambah keras dulu suara itu. Minimal lae enggak diogapi oleh sesama Batak," usul Bornok.
"Ah lae pun ada-ada saja. Aku ke sini dulu untuk kuliah dan sekarang kerja di kota yang panas ini. Aku emang tergolong mudah beradaptasi. Tetapi sejujurnya aku merasa sedih juga kalau enggak diaku sebagai orang Batak, laeku," tambah Togar tanpa menyadari kalau dirinya sedang curhat.
Bornok masih keukeuh mengusulkan agar Togar bergaul dengan orang-orang Batak di Semarang, dan nongkrong di lapo tuak tiap malam adalah salah satu cara tercepat.
Ah dasar si Togar. Dia pikir dia sedang di kampungnya. Belum lagi dari tadi ia selalu mengatakan orang Batak sesungguhnya itu kayak dia.
"Kalau begitu DL (Derita Lu) lah itu lae Togar," celoteh Bornok spontan.
"Ah laeku. Sia-sia deh aku curhat sama lae. Kenapa enggak sekalian lae bilang supaya aku langsung meminum daraha lae supaya aku jadi orang Batak sungguhan?" keluh Togar, tetapi tetap dengan nada lembut.
***
Pertanyaannya sederhana, "Apakah menjadi orang Batak itu harus seperti ini: temperamental, ngobrol dengan suara keras dan terkesan seperti sedang berantem, dan blak-blakan. Belum lagi kalau sedang marah.. Wow menakutkan banget! Nama-nama teman-temannya langsung keluar, mulai dari bodat (monyet), biang atau asu (anjing), babi (babi), bagudung (tikus), bojak (kodok), dst.
Nah, harus begitukah menjadi orang Batak yang sungguh-sungguh Batak? Aku pikir No! Itu sangat tidak tepat. Entah siapa yang menebar stereotipe ini, hingga seakan-akan orang Batak sama dengan manusia keras tanpa perasaan.
Orang bijak pernah bilan begini, "Our brain can only function when it is open". Prinsip seperti inilah yang seharusnya digunakan siapa pun dalam menilia siapa orang Batak sesungguhnya, terutama oleh orang Batak sendiri. Siapa pun Anda, kalau pikiran Anda tidak terbuka, maka Anda tidak akan pernah tahu "siapa orang Batak sesungguhnya".
Ketika seorang Batak mengklaim diri The Real Batak hanya dengan menjustifikasi kekasaran dia berbicara, maka ia serta merta telah menyingkirkan orang Batak lain yang biasa berbicara lemah lembut seperti Togar dalam cerita di atas.
Maka, khusus kepada orang Batak yang suka mengklaim diri paling Batak, open your mind dan jangan lagi terlalu mudah mengklaim diri sebagai "raja" yang kerjanya cuma ngerepotin orang lain, apalagi merasa suku terbaik di dunia.
Begitu juga kepada masyarakat luas agar hati-hati memberikan streotipe, apalagi meyakini bahwa stereotipe negatif itu sebagai kebenaran. Misalnya dengan meyakini bahwa orang Batak itu kasar dan temperamental.
Sebab, seperti dikatakan Bunda Teresa , "Kalau kita mengadili seseorang /kelompok tertentu sebagai seseorang/kelompok yang buruk, maka yakinlah kita tidak akan pernah bisa mencintai mereka."
Dengan cara inilah kita memahami dan menghidupi kebatakan kita sendiri (juga berlaku untuk suka mana pun), yakni berlaku apa adanya, beradaptasi dengan lingkungan sekitar, banyak bergaul dengan siapa saja, dan yang paling penting kita harus selalu menjadi pelopor dalam menghormati orang lain dan bukan sebaliknya.
Posting Komentar