Tampaknya tidak. Banyak pemimpin, entah di lembaga pemerintah maupun swasta, atau di perusahaan atau di lembaga pendidikan, atau di lembaga lainnya kerap mengeluhkan betapa sulitnya mengubah kebiasaan para bawahannnya, atau sebaliknya mengubah kebiasaan jelek atasannya.
Entah karena mereka tak mau belajar hal-hal baru selama masa pendidikan atau di dunia kerja mereka atau justru karena si pemimpin sendiri yang tak mampu belajar tentang kebiasaan bawahannya.
Nyatanya ada sejuta alasan untuk tidak belajar, mulai dari kesibukan dan pekerjaan yang begitu menyita waktu, sudah merasa cukup tahu cuma belum dipraktikkan di tempat kerja, atau justru karena orang bersangkutan memang samasekali tak pernah sungguh belajar.
Tulisan "Kerja! Kerja! Kerja!" yang ditempel di pintu masuk setiap unit di perusahaan, misalnya, tampaknya tak memengaruhi apa pun. Seluruh staf dan karyawan tampaknya selalu betah dengan kebiasaan mereka selama ini.
Artinya, ada banyak perusahaan atau lembaga pemerintah/swasta yang sama sekali belum berhasil mengembangkan situasi ini; bahkan merasa tidak menemukan ‘clue’ untuk melakukannya. Kira-kira apa sih penyebanya?
Apa benar bahwa alasannya adalah sistem pendidikan yang oleh para pengamat pendidikan sering dikatakan "amburadul dan asystematic"? Atau karena pembelajaran di sekolah formal saat ini tak sehebat dulu? Atau karena kurikulum pendidikan kita sangat tidak jelas dan salah arah? Benarkah demikian?
Sebetulnya sih, kalau mau jujur sembari kreatif, kurikulum itu hanya tools (alat, sarana, media), sementara sisi kreativitas dan inovasi ada di tangan para pendidik dan murid itu sendiri. Buktinya, ditengah semrawutnya sistem pendidikan di negara ini tetap saja ada siswa atau mahasiswa yang terlihat menonjol: kreatif dan inovatif.
Entah karena mereka tak mau belajar hal-hal baru selama masa pendidikan atau di dunia kerja mereka atau justru karena si pemimpin sendiri yang tak mampu belajar tentang kebiasaan bawahannya.
Nyatanya ada sejuta alasan untuk tidak belajar, mulai dari kesibukan dan pekerjaan yang begitu menyita waktu, sudah merasa cukup tahu cuma belum dipraktikkan di tempat kerja, atau justru karena orang bersangkutan memang samasekali tak pernah sungguh belajar.
Tulisan "Kerja! Kerja! Kerja!" yang ditempel di pintu masuk setiap unit di perusahaan, misalnya, tampaknya tak memengaruhi apa pun. Seluruh staf dan karyawan tampaknya selalu betah dengan kebiasaan mereka selama ini.
Artinya, ada banyak perusahaan atau lembaga pemerintah/swasta yang sama sekali belum berhasil mengembangkan situasi ini; bahkan merasa tidak menemukan ‘clue’ untuk melakukannya. Kira-kira apa sih penyebanya?
Apa benar bahwa alasannya adalah sistem pendidikan yang oleh para pengamat pendidikan sering dikatakan "amburadul dan asystematic"? Atau karena pembelajaran di sekolah formal saat ini tak sehebat dulu? Atau karena kurikulum pendidikan kita sangat tidak jelas dan salah arah? Benarkah demikian?
Sebetulnya sih, kalau mau jujur sembari kreatif, kurikulum itu hanya tools (alat, sarana, media), sementara sisi kreativitas dan inovasi ada di tangan para pendidik dan murid itu sendiri. Buktinya, ditengah semrawutnya sistem pendidikan di negara ini tetap saja ada siswa atau mahasiswa yang terlihat menonjol: kreatif dan inovatif.
Demikian juga, secara umum cara belajar anak-anak sudah semakin "canggih", di mana murid selalu diberi kesempatan untuk bereksperimen, berpresentasi, berdiskusi, bahkan bertanya pun sekalipun. Di dunia kerja pun mereka tetap diberi kekuasaan untuk lebih kreatif dan inovatif.
Mereka ini adalah segelintir orang yang berkehendak mengubah kebiasaannya, dari "membenarkan kebiasaan" menuju "membiasakan yang benar". Misalnya dengan membangun komunitas belajar gratis bagi si miskin atau siapa saja yang mau belajar, dst.
Di media sosial sendiri tumbuh subur forum diskusi yang fokus pada pendidikan, entah di Facebook maupun di Twitter, bahkan grup WhatsApp. Tak hanya itu, di beberapa komunitas bahkan para peserta (didik) rela berpanas-panas atau duduk di lantai demi mempelajari sesuatu.
Ini tentu gejala positif dan adalah bukti betapa kita sebetulnya "haus" untuk mengembangkan diri, memperkuat keahlian kita serta mengembangkan budaya belajar.
Pertanyaannya amat sangat sederhana: maukah kita belajar "membiasakan yang benar" dan tidak "membenarkan yang biasa"?
Ini tentu gejala positif dan adalah bukti betapa kita sebetulnya "haus" untuk mengembangkan diri, memperkuat keahlian kita serta mengembangkan budaya belajar.
Pertanyaannya amat sangat sederhana: maukah kita belajar "membiasakan yang benar" dan tidak "membenarkan yang biasa"?
Posting Komentar