Maraknya ketelanjangan tubuh, keterbukaan informasi yang dibarengi runtuhnya hak-hak privat, kebebasan berekspresi hingga mengekspose kekerasan dan kejahatan, dan kecintaan pada hal-hal metafisik dan gaib merupakan antitesis dari "kegagalan" agama-agama sebagai corong kebenaran.
Google dan mesin pencari informasi lain, atau internet secara umum dipandang hanyalah salah satu "perdukungan" modern yang mereduksi kebiasaan kaum paranormal atau dukun tradisional yang mencari informasi dari roh-roh gentayangan yang tak kelihatan.
Menariknya, kecanggihan teknologi ternyata berakibat fatal. Mereka yang sanggup mengikutinya merasa terbantu dalam mewujudkan tujuan hidupnya. Sebaliknya, mereka yang kalah dan tak mampu 'bergaul' dengan teknologi merasa perlu kembali kepada kekuatan paranormal tradisional tadi.
Demikianlah pengertian "orang pintar" (Batak, na marbinoto, datu, malim) tak lantas berarti pintar secara akademis atau mahir menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi, tetapi juga pintar mengakses informasi dari ruang-ruang hampa bernama tondi (Batak: roh).
Di tataran realitas, orang pintar pun berkembang pesat. Hal ini sejalan dengan degradasi makna kata pintar itu sendiri. Sebab, saat ini seakan tak mengherankan ketika seseorang mengklaim dirinya tahu banyak informasi kendati sesungguhnya ia tak sungguh tahu sedikitpun.
Media mainstream dan internet secara khusus berlomba-lomba mempromosikan berbagai informasi beritanya dengan judul-judul menarik, yang bahkan tak mewakili isinya. Tragisnya, hanya membaca judulnya saja, orang lantas berani mengambil simpulan, bahkan tak peduli sesat atau tepat.
Di tatanan psikologis, berbagai rasa/afeksi, seperti kegembiraan, kesedihan, penderitaan, kemashyuran, kemakmuran, putus cinta, dst. seakan tuntas terungkap hanya dengan memposting foto-foto tentang dirinya atau lewat curhatan ringkasnya di akun media sosial mereka sendiri.
Tak hanya itu, sisi mistik dan pengalaman spiritual yang bersifat privat pun jamak diunggah dan dipublikasi di media-media sosial tadi. Di sana orang lantas mengklaim telah bertemu Tuhan, bersua dengan leluhur, melihat hantu, bersua dengan roh leluhur, dst.
Orang tak rasional lagi. Logika tak laku lagi. Sebab, pekerjaan bisa dilakukan tanpa kerjasama dengan orang yang tampak secara kasat mata. Sekolah dan perkuliahan bisa dilakukan tanpa tatap muka.
Melejitnya ilmu dan teknologi komunikasi begitu angkuh menelanjangi ke-diri-an dan kehidupan kita. Hingga tak ada lagi ruang privat, termasuk dalam hal relasi dengan Tuhan (agama dan kepercayaan), hubungan suami-istri, dst.
Positifnya, melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan tekonologi komunikasi tersebut dan seiring dengan seringnya terjadi bencana alam, perang saudara dan perang antar-negara, persaingan bisnis yang tak masuk akal, dan aksi terorisme yang makin meraja lela, semakin hari semakin menggiring kita semakin dekat dengan alam.
Makin hari makin muncul kesadaran akan keterkaitan yang tak terbantahkan antara manusia dan alam semesta; disamping mulai munculnya kesadaran bahwa kita membutuhkan orang lain. Hal inilah yang diperjuangkan oleh komunitas-komunitas kecil dan spesifik (berdasarkan hobi dan kesukaan atau berdasarkan pokok perhatian yang sama).
Kita hanya bisa berharap agar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi justru semakin menggugah kesadaran kita akan pentingan alam semesta dan segenap isinya. Tentu semua ini demi kelangsungan hidup manusia dan seluruh mahluk di dalamnya.
Saya mencari nenek moyang telanjang dari tadi di sini ...
BalasHapusHihihi ...
Hahaha.. ada-ada saja
BalasHapus