Satu dekade terakhir banyak sekolah yang terobsesi dengan berbagai olimpiade matematika, olimpiade fisika dst. Koran dan majalah tak luput memberitakan kepintaran anak-anak itu.
Tak lupa juga media telvisi selalu mengumbar prestasi anak-anak itu sembar menyimpul bahwa "Tingkat intelektual anak-anak kita tak kalah dari negara lain".
Sebenarnya tak hebat-hebat amat juga sih. Masak iya dari 275jt penduduk kagak ada yang pinter? Lantas apa makna kepintaran tersebut? Benarkah pinter secara kognitif menjadi jaminan pinter secara afektif?
Nyatanya sekolah yang paling diminati oleh masyarakat perkotaan adalah sekolah yang berprestasi secara kognitif. Tadinya ada segelintir sekolah yang menekankan baik kecerdasan kognitif maupun kecerdasan afekti. Namun, entah mengapa, sekolah-sekolah itu juga tak kuasa menghindari godaan untuk menghasilkan anak-anak berprestasi.
Mari belajar dari realitas terkini. Beban kognitif anak sangat tinggi. Anak TK dibebani mampu berhitung dan membaca, anak SD harus berhenti bermain karena banyak PR, anak SMP dan SMA dipaksa kehilangan masa remaja dengan tuntutan penulisan makalah, penelitian, analisa dst. yang sebenarnya barau mereka lakukan saat kuliah.
Penerapan Kurikulum Pendidikan yang tak pernah berkesudahan menjadi simbol kegamangan pemerintah dalam mempersiapkan regenerasi kepemimpinan di masa mendatang. Logikanya, bila pemerintah saja sudah gamang, maka produk sistem pendidikan kita adalah produk gamang.
Saban hari kita mendengar berita negatif di dunia pendidikan. Kepala sekolah memerkosa muridnya, murid memerkosa gurunya, sesama siswa berbuat mesum, murid rame-rame memerkosa teman satu sekolahnya, anak-anak dicabuli wali kelasnya, dst.
Di perguruan tinggi bahkan lebih sadis. Mahasiswa membunuh dosen di kampusnya sendiri, profesor nyabu bareng mahasiswinya, rektor korupsi, dosen yang lebih doyan proyek daripada mengajar, dan lain sebagainya.
Parahnya, setelah lulus dari berbagai jenang pendidikan, mereka justru mudah terpesona dengan harta, tahta dan seks. Kasus korupsi, kolusi, nepotisme, ditambah lagi dengan berbagai kasus perselingkuhan menjadi gambaran suram produk pendidikan kita.
Bagaimana semua ini terjadi? Keluarga sebagai lembaga utama dan terutama dalam pendidikan anak menyalahkan sekolah dan lembaga pendidikan saat anak-anak mereka melakukan kejahatan. Sebaliknya, sekolah dan kampus tak mau disalahkan dan sebaliknya mereka justru menyalahkan orangtua.
Korupsi bahkan sudah akrab dengan sekolah. Dana bos diselewengkan, guru atau dosen memaksakan penjualan buku dengan dalih demi kecerdasan siswa/mahasiswa, penerimaan murid dengan pungutan-pungutan liar dan sogok menyogok, dan lain sebagainya.
Mau nyalahin guru? Ntar dulu deh. Mereka punya jawaban logis, "Gajiku kecil dan anak-anakku banyak. Darimana mereka bisa makan dan sekolah?"
Terus, mau nyalahin Yayasan atau dinas pendidikan kota/kabupaten? Mereka juga punya jawaban yang tak kalah logsi dari guru-guru tadi, "Tuntutan pemerintah pusat agar di sekolah kami harus ada sarana dan prasarana canggih menjadi alasan mengapa kami menaikkan uang pembangunan."
Begitulah sistem dan gerak pendidikan kita berjalan dalam lingkaran setan yang membuat orangtua marah. Tanpa implementasi nilai-nilai etik, seperti kejujuran, disiplin, saling menghargai, cinta lingkungan, daya juang, bersyukur, gender dan lain-lain.
Padahal nilai-nilai itu semestinya diterapkan di sekolah. Tentu saja guru turut bertanggung jawab untuk penanaman nilai itu. Kurikulum nasional secara implisit telah menekankan pendidikan nilai di atas; hanya saja para guru terlalu fokus pada tugasnya untuk men-delivery materi.
Seharusnya guru dengan berbagai cara harus menekankan pendidikan nilai seperti kejujuran pada siswanya. Maka penting sekali bagi guru menjadi model dalam hal kejujuran. Tanpa bermaksud menafikan guru-guru yang mampu menjadi teladan, sistem pendidikan kita akan hancur lebur bak bubur.
* Tulisan ini juga dimuat di PENA SINERGI - Majalah Pendidikan Online, 10 Mei 2016
Posting Komentar