Di media-media, terutama setelah Pilpres 9 Juli 2014 bangsa kita kerap digolongkan sebagai negara paling demokratis di dunia; tetapi faktanya hari ini masyarakat kita lebih mencinta demokrazy alias berdemo dengan jahat.
Sistem "one man on vote" pun ditafsir lewat perlakuan terhadap orang yang benar dan orang yang salah. Mereka harus dibela. Dan kebenaran yang paling tinggi adalah jumlah suara bagi salah satunya.
Artinya, kebenaran pun bisa dimiliki oleh orang yang salah, asal banyak pendukungnya hingga mengalahkan pendukung orang yang benar. Artinya, bisa aja Ahok dilengserkan dan Lulung ditahtakan sebagai gubernur DKI asal pendukung Lulung lebih banyak.
Persoalannya benar tak lagi benar, salah tak lagi salah. Yang benar bisa disalahkan dan yang benar bisa disalahkan. Ini bak seorang pengacara yang ngotot membenarkan kliennya yang telah jelas salah.
Uang dan hasrat untuk bertahta adalah alasan terdepannya. Tak heran bila seseorang yang punya uang, apalagi ia juga haus kekuasaan serta menyukai kekacauan dan perang adalah orang yang paling diperhitungkan di negeri ini. Mereka ini selalu punya kesempatan membuka lowongan baru bagi para pengangguran, atau mereka yang mudah terprovokasi. Pekerjaan yang dimaksud adalah menjadi seorang demonstran.
Kelompok ini juga seolah berhak mendirikan PT. Pengacau Nasional, tbk dengan divisi pengacau dan demonstran sebagai andalannya. Tak hanya itu, mereka juga akan bermurah hati membayar para pengamat yang kerap mereka sebutkan sebagai marketer atau sales produk mereka. Mereka inilah yang empunya doktrin sebagai saleskit provokasi mereka. Persaingan antar stasiun televisi adalah salah satu bentuk persaingin bisnis politik ini.
"Siapa yang diundang" dan "apa yang harus disampaikan" oleh para undangan talkshow seakan sudah ditentukan oleh si empunya televisi. Isi berita, siaran live atau delay hampir pasti didominasi oleh si empunya tivi. Semuanya berebut pengaruh lewat pembenaran diri.
Hasilnya jelas, kebenaran telah menjadi "kebenaran" (dalam tanda kutip). Kebenaran menjadi kebenaranku atau kebenaran kami dan bukan kebenaran kalian atau kebenaran mereka.
Beginilah situasi teranyar peziarahan ilmu politik di negeri tercinta ini. Bila para antropolog dan sosiolog selalu mendengungkan bahwa sebuah bangsa tak bisa dilepaskan dari anggota masyarakatnya, maka democracy Indonesia adalah democrazy Indonesia pula.
Bila politik yang kita jalankan masih politik berbasis hukum pembenaran dan main hakim sendiri, maka negara ini tak lebih dari kumpulan para penjahat (baik yang telah menjadi penjahat maupun yang akan segera menjadi penjahat) yang akhrinya akan merampas, menindas dan memerkosa bangsa sendiri.
Begitulah yang terjadi di saat kita selalu meneriakkan bahwa demokrasi adalah suara terbanyak. Sebab banyak tak selalu berarti menang; dan pemenang tak selalu datang dari pihak yang terbanyak.
Ayo berdemokrasi secara sehat...
Posting Komentar